Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya

Rabu, 16 Juli 2008

(Suatu Tinjauan Awal)
Dikirim/ditulis pada 28 August 2007 Oleh: Yenti Garnasih

ARTIKEL HUKUM PIDANA

1. Pendahuluan.

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.

Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.

Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung penegakannya.

Bila dipahami bahwa semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain.

Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya.

Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi factor penyebabnya. Keadaan ini bukan mustahil Indonesia dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam upaya pemberantasan pencucian, dan akan berakibat pada penilaian yang tidak menguntungkan bagi Indonesia di mata internasional, terutama oleh FATF. Untuk itu nampaknya harus dikaji lebih mendalam tentang faktor apa saja yang menjadi kendala sehingga penegakan hukum terhadap pencucian uang begitu lemah.

Pengakajian ini harus diawali dengan memahami kembali latar belakang dan tujuan dilakukannya kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang, baik secara global maupun untuk kepentingan nasional, kemudian disinergikan dengan kualitas perundangan, kesiapan aparat penegak hukum dan sikap masyarakat atas upaya pemberantasan pencucian uang.


2. Mengapa praktik pencucian uang harus diberantas dan bagaimana strategi pemberantasannya.

Untuk melihat faktor yang menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum terhadap ketentuan anti pencucian uang di Indonesia, perlu melihat kembali pemahaman untuk apa dilakukan kriminalisasi pencucian uang atau mengapa praktik pencucian uang harus diberantas.

Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia membuat anti pencucian uang pada walnya karena desakan Internasional bukan karena kesadaran pentingnya pemberantasan pencucian bagi Indonesia,[3] praktik pencucian uang adalah suatu jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi untuk dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan hasil kejahatannya. Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan nadi bagi kejahatan terorganisasi (organized crimes) dalam mengembangkan jaringan kejahatan mereka, maka penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.[4]

Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan subsatansi psichotropika. Maka kriminalisasi pencucian uang semula hanya dirahkan untuk memberantas perdagangan narkotika dan sejenisnya seperti yang tercantum dalam United Nation Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1988 (The Vienna Convention).

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara international.

Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia.[5] Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes).

Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi.[7] Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan.

[8] Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna:

“…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears.).[9]

Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan.[10]

Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbul pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum.

Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya oleh para pelaku pencucian uang inilah yang memunculkan fenomena cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak.

Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatmen of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya.

Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global. Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan[11] serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu.[12]

Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifat sophisticated crimes.

[13] Kesulitan pemberantasan akan semakin meningkat manakala kejahatan pencucian uang berubah sifatnya sebagai cyber crimes (cyber laundering) dengan menggunakan offshore banking (crimes).

3. Kelemahan dalam Penegakan hukum ketentuan anti pencucian uang di Indonesia.

Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantu pada beberapa factor yaitu bagaimana formulasi undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya propfesionalitas para penegak hukum lebih dominan dibanding dua faktor yang lain.

A. Kelemahan dari formulasi perundangan.

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang.

Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya.

Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas.

Dari kekhasan jenis kejahatan ini telah melahirkan berbagai definisi tentang pencucian uang, yang ternyata tidak ada satupun yang bersifat universal serta koprehensif. Hal ini Nampak dalam pernyataan[14]:

“There is no universal or comprehensive definition of money laundering XE “money laundering” . Prosecutors and criminal intelligence agencies, businesspersons and companies, developed and developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of persecution are narrower than definitions for intelligence purposes.”

Dari berbagai definisi yang dibuat masing-masing negara bukan berarti berbeda sama sekali tetapi terdapat standar minimumnya berkaitan dengan kriteria kejahatan ini, dan terutama untuk kepentingan dilakukannya mutual legal assistance. Artinya bahwa masing-masing negara boleh saja tidak menyeragamkan definisi namun paling tidak terdapat standar yang harus diatur yaitu berkaitan dengan adanya unsur-unsur intent (maksud atau sengaja), a financial transaction, proceed of crime, knowledge or reason to know dan proceed of crime or unlawful activity.[15]

Dari sifatnya yang merupakan kejahatan ekonomi maka dipikirkan bahwa praktik pencucian uang sebagian besar menggunakan sarana lembaga keuangan, maka harus dilakukan upaya agar lembaga ini tidak digunakan untuk pencucian uang. [16] Selain itu upaya pemberantasan melalui ketentuan lembaga keuangan dipandang sebagai suatu strategi dini sebagai penangkapan pelaku dan penyitaan hasil kejahatan dalam kaitannya dengan upaya preventif.

Namun demikian karena sifatnya yang merupakan kejahatan tetap harus dilakukan upaya represif, maka ditawarkan suatu pemikiran pemberantasan dengan pendekatan dua jalur yang disebut sebagai twin track against money laundering:

“A twin track policy has gradually evolved in the fight against money laundering, consisting of preventive approach, founded in banking law, and repressive approach founded in criminal law. To portray the distinction between the preventive and the repressive approach to money laundering as a dichotomy between criminal and financial law is, however, an oversimplification.”[17]

Berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang maka kedua pendekatan tersebut hanya dibedakan tetapi tidak dipisahkan, bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Diawali dengan pendekatan preventif yang diletakan pada lembaga keuangan nampaknya upaya pemberantasan melalui bidang ini dipandang sebagai strategi dini dan yang paling signifikan.

Misalnya pada tahap placement lembaga keuangan (bank) dimanfaatkan dengan cara yang sederhana sampai yang rumit menggunakan wire transfer ataupun munculnya Payable Through Accounts (PTAs).[18]

Dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9).

Pasal 3:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:

a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;

b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;

c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain;

d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

e. menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain;

f. membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau

g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya;

dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyemarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar.

Unsur obyektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).

Sedangkan unsur subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Pasal 6
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:

a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,

harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.

Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan (yang diketaui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsur subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.

Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu:

Pasal 8:

Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.

Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:

Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:

a. transaksi keuangan mencurigakan;

b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

Pasal 9:

Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa kedalam atau keluar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta.

Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada ketegasannya. Selanjutnya ketentuan Pasal 9 pada tahap formulasi sudah sesuai standar, hanya ketentuan melaporkan kepada siapa ternyata diatur dalam Pasal 16, semestinya ketentuan kedua pasal tersebut berdekatan.

B. Kelemahan berkaitan dengan Penerapan UUTPPU

Faktor ke dua dan paling menonjol kelemahannya adalah dalam tahap pelaksanaannya. Untuk menegakan hukum terhadap terhadap praktik pencucian uang memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan juga PPATK. Masing-masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan dengan baik terkoordinir dan simultan. Namun nampaknya masih terdapat masalah dalam penegakan terhadap pencucian uang:

1) Peranan PPATK dalam pengungkapan pencucian uang

Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana pencucian uang adalah[19]:

“The Financial Intelligence Unit or FIU XE “FIU” is an information gathering and processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves, reveiw and evaluates information on very large number of transactions. Out of those only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police.

PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang mencurigakan.

Namun demikian badan ini tetap dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) membantu kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya. Artinya bahwa hasil anlisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu berarti.

2) Peran Polisi dalam melakukan investigasi terhadap perkara pencucian uang.

Dalam ketentuan UUTPPU dimaksud penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang berada dibawah kewenangan Kepolisian R.I., disamping itu dibentuk lembaga (Financial Investigation Unit), yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya antara lain penerima laporan (repository function) dan penganalisis (analysis function) dan sebagai clearing house yaitu lembaga yang menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi atas transaksi yang mencurigakan.

[20] Berkenaan dengan tugas penyidikan polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, dan untuk perkara pencucian uang bukanlah masalah mudah, apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya. Peran polisi juga sangat dominan manakala berkaitan dengan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana ini di luar negeri. Kemajuan dibidang teknologi informasi memungkinkan kejahatan pencucian uang bisa terjadi melampaui batas kedaulatan suatu Negara, untuk mencegah dan memberantasnya memerlukan kerjasama antara Negara.

Penyidikan juga akan semakin sulit ketika melibatkan penggunaan jasa wire system, hal ini nampaknya dikarenakan tuntutan efisiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka.[21] Sejak 1989 dihampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal, antar bank dan lembaga keuangan (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer), ini merupakan cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum, dimana sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.

[22] Cara ini juga sering disebut sebagai Electronic Fund Transfer (EFT) atau cyber payment yang merupakan salah satu jasa yang diberikan oleh electronic banking, yang memungkinkan pembayaran transfer berlangsung dengan mobilitas tinggi dengan mengoptimalkan jaringan perbankan international (International Offshore Banking Centers) sebagai lembaga intermediasi.

Masalah wire transfer system yang menyertai money laundering juga semakin mempersulit pembuktian, transfer semacam ini bisa terjadi antarbank (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer) adalah suatu cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum dan sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.

[23] Selain itu polisi juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk memenuhi unsur yang harus dibuktikan jaksa tersebut sangat sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, benar-benar harus didukung berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan pelaku.

Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK.

Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi.

Sudah seharusnya mulai dipikirkan bahwa ketika suatu perkara pencucuian uang terungkap maka para pelaku kejahatan itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang mereka lakukan dan pada akhirnya akan menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu mengikuti pemberitaan kasus mereka di media massa, menyimak jalannya persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan serta mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk mengetahui di mana kelemahan mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi.

Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank.

Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika.

Namun untuk operasi penjebakan pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak sekedar penyamaran saja tetapi negara harus menyiapkan sejumlah uang yang akan digunakan dalam penyamaran tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya undang-undang stink operation ini akan sulit terwujud.

3) Peranan Jaksa dan problema pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

Dalam pengamatan selama 4 tahun Indonesia memiliki ketentuan anti pencucian uang, maka nampaknya kegagalan terbesar terletak pada kelemahan jaksa dalam membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crimes) sehingga ada permasalahan lain yaitu bagaimana dengan core crime (predicate offencenya). Apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan predicate offencenya.

Berdasarkan amanat undang-undang maka predicate offece tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya maka dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate offence dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan predicate offencenya, namun pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri (as a separate crime). Dengan demikian dalam mendakwa tindak pidana pencucian uang misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3 maka predicate offence dan follow up crimesnya didakwakan sekaligus.

Namun demikian perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offencenya, tetapi hanya tindak pidana pencucian uangnya.

Selanjutnya masih ada dakwaan tunggal untuk tindak pidana pencucian uang yang tidak harus dikaitkan dengan predicate offencenya, dalam hal ini misalnya pelaku hanya berkenaan dengan dakwaan Pasal 6, dimana pelaku hanya dipertanggungjawabkan atas perbuatan pencucian uang pasif yaitu menerima dan lain-lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan. Dalam hal pelaku hanya berkaitan dengan Pasal 6 maka dakwaannya bersifat tunggal atau didakwa alternative dengan pasal lain yang relevan, yang penting harus sesuai dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.

Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know (patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi.

Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tersebut.

[24] Jadi apabila unsur sengaja dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan bersal dari kejahatan maka dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di Indonesia hal ini nampaknya belum dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur menyamarkan (disguissing) yang lebih mudah dibuktikan daripada menyembunyikan (hiding).

4) Peranan Hakim dalam memutus perkara pencucian uang.

Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus.

Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua system acara peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian (the shifting of the burden of proof).

UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara persidangan khusus untuk pembalikan beban pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan. Selain tatacara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsure saja.

Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsure ini tidak bias dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsure lainnya baik itu unsure obyektif amaupun subyekti, sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen).

Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dst, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsure intended pasti terbukti.

Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melaku transfer misalnya, dan kemuidian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak baik yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan.

Terhadap ide ini hakim harus benar-benar mempunyai keberanian yang dilandasi keyakinannya atas logika hukum yang ditawarkan tersebut. Untuk mencapai profesionalitas yang memadai serta inovatif tersebut, sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dalam mempelajari teori pembuktian yang telah dilakukan di berbagai Negara yang telah banyak pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan.

4. Penutup.

Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum bisa berkerja secara simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri.

Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti. Dengan demikian kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa.

Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan kumulatif.

Pada akhirnya profesionalitas hakim juga harus memegang peranan penting untuk pengungkapan perkara pencucian uang, mengingat terdapat pendekatan pragmatis dan inovatif yang terpaksa harus dilakukan sehubungan dengan sulitnya pembuktian.



(Penulis (Yenti Garnasih) lahir 11 Januari 1959 merupakan Doktor di bidang pencucian uang, Beliau Dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Sekretaris Pusat Studi Pidana Universitas Trisakti), Tenaga Ahli pada Kantor Menteri Lingkungan Hidup, dan Pengajar di Pusat Pendidikan Serse Mega Mendung)

Catatan: Tulisan ini juga dimuat dalam Jurnal Legalitas/Legislasi.

DAFTAR PUSTAKA

  • Baldwin Jr, Fletcher N, Money Laundering and Wire Transfer: When The New Regulation Take Effect. Will They Help?, Dick.J. Int’l. L. vol.14, 1996.
  • Barbot, Lisa A, Comment, Money Laundering: An International Challenge”,Tul.J.Int’l & Comp.L.,vol.3,1995.
  • Bhala, Raj, The Interveted Pyramid of Wire Transfer Law, Ky.L.J.82, 1993.
  • Biagio, Thomas M, Money Laundering and Trafficking: A Question of Understanding The Element of The Crime and The Use of Circumstacial Evidence, Univ.of Richmond Law.Rev, Vol.28:255.1994.
  • Chaikin, David A, Money Laundering: An Investigatory Perspective, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991.
  • De Feo, Michael A, Depriving International Narcotics Traffickers and other Organize Criminals of Illegal Proceed and Combating Money Laundering, Den.J. Int’l L & Pol’y, vol. 18:3, 1990.
  • Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2003.
  • Harmon Jr, James D, Money Laundering Legislation: Hearing of The Senat Comm. On The Judiciary, 99th Cong. Vol.84, 1985.
  • Haynes, Andrew, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993.
  • Kaufmann, Max, Adam Lewis, Bruce Muller, Money Laundering, Am .Crim.L.Rev. vol. 34, 1994.
  • Levi, Michael, Incriminating Disclosures: An Evaluation of Money Laundering in England and Wales”, Eur J.Cr.L &Crim.J , 1995.
  • Mulligan, Daniel, KYC Regulation and The International Banking System: Towards a General Self Regulatory Regime, Ford. Int.L.J., vol.22,23,24. 1999.
  • Samuel, Margaret, “No Cash Alternatives and Money Laundering XE “Money Laundering” : An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992.
  • Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000.
  • The Information Technologies for Control of Money Laundering, U.S. Department of Justice Criminal Div. Office. 1998.
  • United Nations, Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in The Context of Development and A New Economic Order, Milan, 1985.
  • United Nations, Convention Againts Transnational Organized Crime, Palermo, 2000.
  • Zeldin, Michael, Money Laundering : Every You Wanted To Know About Money Laundering But Were Afraid to Asked, in Focus on Money Laundering & Asset Forfeiture, An Int’l Persp., vol 2,1995.

0 komentar:

Posting Komentar