Idealisme Pengadilan Tipikor Dan Kelembagaan Anti Korupsi

Selasa, 15 Juli 2008

Dikirim/ditulis pada 13 December 2007 oleh Romli Atmasasmita

ARTIKEL HUKUM PIDANA

Citra Pengadilan Tipikor sebagai “kuburan” bagi para koruptor tampaknya telah melembaga di kalangan para penasehat hukum dan masyarakat anti korupsi. Apakah citra seperti itu menandakan keberhasilan suatu pemberantasan korupsi, hanya sejarah yang akan membuktikannya.

Bagaimana sebenarnya tolok ukur keberhasilan suatu proses peradilan pada umumnya, dan pengadilan tipikor pada khususnya di dalam menciptakan kepastian hukum yang berkeadilan, akan diuraikan di bawah ini.

Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita hukum tertinggi. Apakah Keadilan itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi yang diakui tentang keadilan tsb; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa “keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi”.

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Begitu tingginya cita hukum yang ingin dicapai, maka pengadilan sering disebut sebagai “satu-satunya benteng terakhir keadilan”.

Bahkan dalam sistem hukum acara di Indonesia, putusan majelis hakim secara eksplisit mencantumkan irah-irah, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah tsb mencerminkan betapa luhur dan mulia kedudukan dan peranan seorang hakim di Indonesia, sehingga kepadanya dibentangkan dan ditegaskan bahwa ia bertanggung jawab sepenuhnya atas putusan yang diambil ybs kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan lain perkataan, setiap ucapan seorang Hakim dalam memutus perkara seharusnya diidentikan dengan keadilan karena putusan yang diucapkannya merupakan jaminan terciptanya keadilan kepada TYME.Atas dasar pemikiran tsb, jelas bahwa, seorang Hakim di Indonesia, adalah satu-satunya “perwakilan” TYME dalam menciptakan keadilan; sungguh betapa beratnya beban moralitas seorang hakim, bukan saja pertanggungjawaban teknis hukum; dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.

Di dalam perkara pidana termasuk korupsi sudah tentu termasuk pertanggungjawaban hakim menempatkan seseorang terdakwa di dalam penjara untuk beberapa waktu lamanya; terlebih penjatuhan hukuman mati.

Hukuman penjara mengandung makna penghilangan hak dan kebebasan seseorang oleh negara; dan hal tsb sah-sah saja sepanjang dilakukan di atas landasan hukum dan menurut keyakinan hakim bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

JPU adalah wakil negara untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang di duga kuat melakukan suaitu tindak pidana; dan seorang Jaksa Agung di Indonesia, adalah “pembantu presiden” karena diberikan kedudukan setingkat menteri; sehingga logis jika masih diragukan netralitas dan imparsialitas serta integritasnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Oleh karena sistem peradilan pidana (SPP)di Indonesia yang menganut sistem Civil Law dilandaskan kepada struktur organisasi yang bersifat piramidal( Damaska,1986) di mana Jaksa Agung merupakan pimpinan tertinggi dalam penuntutan, dan Ketua MA, merupakan pemegang kekuasaan tertinggi di bidang kehakiman, yang membawahi peradilan di bawahnya; maka kinerja badan-badan kekuasaan kehakiman di dalam praktik sistem peradilan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh baik tidaknya hubungan antara “patron-client”; yang pada ujungnya sering memunculkan bias-bias dan riak-riak ketidak puasan dalam praktek rekruitmen, mutasi dan promosi, termasuk ke dalamnya pengaruh unsur KKN.

Sedangkan Damaska (1986) menegaskan bahwa pembentukan pengadilan dan kejaksaan dalam sistem “Civil Law” dibangun atas dasar kepercayaan atas kredibilitas kekuasaan negara dalam mengkelola kekuasaan kehakiman; berbeda dengan SPP di dalam sistem “Common Law”, yang dibangun atas dasar citra negatif dan pandangan miring atas kinerja kekuasaan negara sehingga diperlukan sistem “check and balance” di mana bentuk akuntabilitas ditujukan semata-mata kepada membatasi pembagian kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan judikatif.

Atas dasar pemikiran tsb maka organisasi kekuasaan kehakiman dan badan-badan kekuasaan kehakiman lainnya, tidak persis sama dengan SPP di dalam sistem “Civil Law”. Dalam kaitan dengan uraian di atas, maka pembentukan pengadilan khusus di Indonesia sejak era reformasi, selain merupakan tuntutan kebutuhan(urgent needs) juga dilandaskan kepada kebutuhan di era reformasi akan adanya sistem “check and balances”, yang memenuhi prinsip“fair”, “impartial”, dan “accountability”.

Perkembangan ini merupakan konsekuensi dari trauma kekuasaan kehakiman masa lampau yang sangat rentan terhadap intervensi pemegang kekuasaan negara. Sekalipun pembentukan pengadilan khusus telah memiliki landasan hukum UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman(Pasal 15 ayat 1), namun dalam kenyataan-nya pembentukan pengadilan tipikor tsb didesak oleh faktor “ketidak-percayaan” masyarakat luas terhadap kinerja para hakim sehingga dibuka kesempatan anggota masyarakat yang dipandang ahli untuk menjadi hakim pada pengadilan tsb.Mengapa pengadilan tipikor memerlukan hakim khusus(adhoc)?

Hal ini disebabkan tuntutan era reformasi yang kemudian menjadi agenda Kabinet SBY, yaitu pemberantasan KKN dan pengusutan harta kekayaan Suharto dan kroni-kroninya, menempatkan pembentukan pengadilan khusus tipikor menjadi “ikon” terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, bersama-sama dengan KPK.

Perjalanan pengadilan tipikor selama kurun waktu hampir 4(empat) tahun telah memperlihatkan efektivitas kinerja yang tidak buruk, dibandingkan dengan kinerja pengadilan negeri dalam memeriksa dan memutus perkara tipikor dengan tolok ukur penilaian masyarakat bahwa, pengadilan tipikor dengan hakim adhoc telah berhasil (100% ) memenjarakan setiap pelaku korupsi; sedangkan 50% pengadilan negeri dengan hakim karir, telah memutus bebas.

Tolok ukur kuantitatip tersebut sesungguhnya bukanlah satu-satuya ukuran keberhasilan karena masih diperlukan tolok ukur kualitatip, yaitu seberapa jauh isi putusan pengadilan telah mempertimbangkan secara teliti dan sungguh-sungguh seluruh fakta yang diperoleh selama sidang pengadilan? Pertanyaan ini menegaskan perwujudan prinsip “due process of law” yang dilandaskan kepada ketentuan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945.

Ketentuan pasal UUD tsb yang merupakan “hukum dasar” (grund-norm) menegaskan jaminan pentingnya hak setiap orang untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum(cermati kalimat-kalimat,”kepastian hukum yang adil”).

Satu-satunya kelemahan UUD 1945 dalam konteks perlindungan hak asasi, adalah tidak adanya ketentuan mengenai perlindungan atas hak seseorang tersangka/terdakwa untuk tidak dianggap bersalah sampai dengan putusan pengadilan yang menyatakannya bersalah (asas praduga tak bersalah/presumption of innocence).

Sekalipun hak seperti itu terdapat di dalam KUHAP,akan tetapi Konstitusi tidak mengakui adanya hak dimaksud. Merujuk kepada ketentuan dalam UU KPK 2002, proses peradilan perkara tipikor dibatasi hanya 90 (sembilan puluh) hari pada tingkat pengadilan negeri, dan 60(enam puluh) hari di tingkat pengadilan tinggi serta 90(sembilan puluh) hari di tingkat kasasi; sedangkan untuk PK tidak ada batas waktu yang khusus.

Pembatasan waktu tersebut terutama di tingkat PN dalam praktik, dengan kompleksitas kasus tipikor yang memerlukan pembuktian yang memadai, maka tenggat waktu tsb dirasakan sangat terbatas sehingga proses pemeriksaan dilakukan dengan kurang persiapan dan kurang teliti.

Apalagi hakim karir yang ditugasi khusus untuk perkara tipikor, juga melakukan tugas ganda menangani kasus lainnya termasuk kasus perdata. Kemungkinan terjadi pemeriksaan eksepsi penasehat hukum tidak dilakukan secara teliti dan tergesa-gesa tidak dapat dielakkan sehingga kepentingan perlindungan hukum atas hak terdakwa telah diabaikan.

Dalam kenyataannya, pemeriksaan perkara tipikor oleh pengadilan tipikor dan pengadilan negeri, saat ini sering dipengaruhi oleh “trial by the press” yang menumbuhkan proses stigmatisasi (Braithwaite, 1986) terhadap tersangka atau terdakwa sehingga sebelum putusan pengadilan dijatuhkan, masyarakat telah apriori berpandangan terdakwa bersalah, apalagi terhadap kasus tipikor yang diajukan oleh Jaksa Penuntut KPK.

Apakah iklim seperti itu merupakan iklim yang kondusif terhadap penegakan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945? Penulis menilai iklim tersebut tidak kondusif dalam mewujudkan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa yang konsisten sesuai dengan ketentuan UUD 45 tersebut.

Hal ini disebabkan tujuan hukum dalam pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970) sesungguhnya adalah untuk dapat memelihara ketertiban, kepastian hukum dan keadilan di mana hukum (dalam arti luas termasuk putusan pengadilan) harus diperankan sebagai sarana untuk membawa masyarakat ke arah perubahan yang lebih baik, teratur dan dapat membentuk harmonisasi kehidupan masyarakat ke arah idealisme cita hukum sebagaimana dicantumkan secara tegas dalam UUD 1945.

Fungsi dan peranan hukum melalui kelembagaan hukum yang ada sesuai dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya bukanlah memenuhi kepuasaan dan citra masyarakat yang cenderung subjektif dan tendensius, bahkan terkadang terselip unsur “pembalasan”, serta hanya memenuhi aspirasi eforia yang tanpa tujuan, melainkan fungsi dan peranan hukum itu harus semaksimalnya ditujukan untuk memelihara kewibawaan, integritas, imparsialitas yang diperkuat oleh profesionalisme yang memadai baik dari kalangan penuntut umum, para hakim, dan penasehat hukumnya.

Selain itu, fungsi kelembagaan penegak hukum yang sejalan dengan fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan di atas seharusnya dapat memberikan pendidikan hukum yang baik dan benar kepada masyarakat luas.

Bahwa pembalasan melalui putusan pengadilan bukanlah tujuan melainkan sebagai sarana untuk memperoleh keadilan. Sesungguhnya, Kunci masalah proses peradilan yang jujur, imparsial dan memiliki kredibilitas terletak pada profesionalisme penegak hukumnya termasuk para penasehat hukum.

Contoh konkrit dari kelemahan kunci masalah tersebut, adalah masih berlanjut tanpa hambatan suatu pendakwaan kasus tindak pidana perbankan yg didasarkan kepada UU Nomor 31 tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PK).

Sedangkan Pasal 14 UU tsb menyatakan penerapan UU tsb dan pendakwaannya bersifat limitatif, hanya terhadap kasus tindak pidana lainnya, selain tindak pidana korupsi, yang dinyatakan secara tegas di dalam UU lain itu sebagai tindak pidana korupsi! Sedangkan penegak hukum (JPU, Hakim, Hakim Agung, dan Penasehat hukum) memahami betul arti dan makna kedudukan Pasal 14 UU 31 tahun 1999 sebagai “lex specialis” terhadap ketentuan mengenai asas concursus idealis sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 63 ayat (1) KUHP. Peristiwa tsb sangat tragis dan dapat disebut sebagai “skandal hukum terbesar abad 21” dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi karena telah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun lamanya!.

Contoh lain, proses peradilan kasus korupsi di KPU, secara kasat bersifat diskriminatif, karena hanya segelintir tersangka diajukan ke pengadilan, dan selebihnya bebas berkeliaran. Bahkan memberikan keterangan palsu- dimuka persidangan masih bisa ditolerir oleh majelis hakim pengadilan tipikor sedangkan KUHAP landasan hukum beracara telah tegas dan jelas mengatur keterangan seperti itu dan langkah hakim majelis yang wajib dilakukan di dalam menyikapinya.

Contoh lain, kejaksaan agung belum juga memeriksa dan mendakwa GK dalam kasus korupsi migas Balongan yang sama dengan terdakwa TI yang telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Contoh aktual dan baru, adalah, inkonsistensi Putusan MA yang telah membebaskan dari tuntutan sejumlah anggota DPRD Sumbar, dan menghukum selebihnya anggota DPRD yang sama dalam kasus dakwaan korupsi dengan dasar hukum dakwaan yang sama pula. Semua contoh di atas menunjukkan bahwa kunci masalah peradilan tipikor terletak kepada “siapa yang menjalankan hukum itu”, bukan terletak kepada bentuk dan substansi hukum yang dijalankannya.!

Bertolak dari kondisi situasi penegakan hukum dalam kasus korupsi maka kinerja pengadilan khusus tipikor sebagai benteng terakhir keadilan harus diperkuat dan diawasi terus menerus oleh seluruh komponen masyarakat. Pemberdayaan dan penguatan Pengadilan khusus Tipikor dimulai dengan memperketat proses rekruitmen para hakim khusus tipikor baik berasal dari hakim karir maupun dari anggota masyarakat ahli, melalui mekanisme penelusuran rekam jejak selama kurang lebih 6(enam)bulan; mengikuti psiko-test; wawancara/tatap muka; mencegah kolusi dan nepotisme dalam proses seleksi; dan mengikuti proses sertifikasi setelah lulus persyaratan formal(usia, ijazah, surat keterangan kesehatan bebas penyakit dan narkotika, domisili, dan daftar riwayat hidup).

Pengangkatan dan penugasan disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dan bersifat kasuisitik dengan mensyaratkan melepaskan jabatan lainnya selama ditugasi sebagai hakim khusus dalam perkara korupsi tertentu.Pengangkatan di batasi hanya 4(empat) tahun lamanya dan sewaktu-waktu diberhentikan disementara jika diduga melakukan suatu tindak pidana(tidak perlu menunggu putusan inkracht) sehingga dimungkinkan prosedur pergantian antar waktu, jika diperlukan.

Untuk keperluan tsb, dibentuk Majelis Kode Etik Hakim Tipikor yang terdiri dari Hakim Agung pensiun dan dikenal integritasnya; salah satu anggota Komisi Yudisial, unsur akademisi, dan unsur praktisi hukum lainnya yang memiliki rekam jejak yang baik.

Proses seleksi hakim tipikor dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh MA, terdiri dari unsur Hakim Agung terpilih dan memiliki rekan jejak yang baik; unsur praktisi hukum, dan unsur akademisi. Hasil pansel diserahkan kepada Ketua MA untuk diajukan kepada Presiden dan diangkat dengan Keputusan Presiden.

Pembentukan Pengadilan Tipikor di setiap kabupaten/kota, dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan jumlah perkara korupsi di daerah tsb, sehingga tidak terjadi penundaan perkara. Hal ini diperlukan karena RUU Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan satu-satunya yang memeriksa dan memutus perkara korupsi baik yang diajukan pihak kejaksaan maupun dari KPK dgn wewenang yang diperluas, termasuk menangani perkara pencucian uang yang berasal dari korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi, termasuk memberikan keterangan palsu atau menggunakan dokumen palsu di muka pengadilan.

Sejalan dengan RUU Pengadilan tipikor tsb, revisi UU KPK merupakan keharusan agar terjadi harmonisasi hukum antara kedua UU tsb satu sama lain, dan juga dengan UU Tipkor yang baru.KPK di dalam UU revisi diperluas wewenangnya dapat menyidik tindak pidana pencucian uang yg berasal dari korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi serta akan dibentuk perwakilan KPK di daerah untuk mengantisipasi over kapasitas penanganan korupsi di daerah sehubungan dengan terpusatnya wewenang memeriksa dan mengadili perkara korupsi di satu lembaga pengadilan khusus tipikor.

Pembentukan perwakilan tsb sejalan dengan semangat otonomi khusus di mana akan banyak laporan dugaan perkara korupsi di daerah sehingga penanganan nya akan lebih efisien dan terakomodasi dengan cepat di daerah.

Perwakilan KPK di daerah hanya berwenang melakukan penyelidikan saja sedangkan untuk memasuki tahap penyidikan tetap berada pada KPK(Pusat).Hal ini perlu ditegaskan dalam revisi UU KPK untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan ekses-ekses negatif yang dapat merusak citra kemandirian KPK di masa mendatang.

Penulis adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung - Tulisan-tulisan penulis dapat dilihat di sini



0 komentar:

Posting Komentar