Korupsi: Antara Pemberantasan dan “Pemeliharaan”

Rabu, 16 Juli 2008

Dikirim/ditulis pada 25 April 2007 oleh Zul Akrial

ARTIKEL HUKUM PIDANA KORUPSI

Pengantar

Ada banyak slogan yang berkembang untuk menggambarkan bagaimana eksistensi korupsi di negara tercinta, Indonesia. Diantaranya adalah statemen yang menyatakan bahwa Korupsi di Indonesia telah membudaya, sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan. Pernyataan singkat dan lugas ini dikemukakan oleh salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, almarhum Bung Hatta.

Terhadap pernyataan tersebut —korupsi di Indonesia telah membudaya— beberapa waktu yang lalu mendapat penolakan dengan alasan tak ada bukti historis dan empiris yang dapat mendukung pernyataan tersebut.

Pernyataan tentang korupsi di Indonesia telah membudaya, sebenarnya pernah mendapat dukungan data empirik. Hasil survai beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen, LSM, PERC (Political and Economic Risk Consultancy Ltd) yang berkedudukan di Hongkong, dalam laporannya yang berjudul The Asian Intelligence Report, menyebutkan bahwa Indonesia sebagai negara terkorup diantara 12 negara di kawasan Asia.

Laporan internasional tentang tingginya tingkat korupsi di Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Lembaga Transparancy International melalui majalah Der Spiegel, juga pernah mencantumkan Indonesia sebagai negara terkorup diantara 41 (empat puluh satu) negara di dunia yang mereka survai. Majalah Asia Week juga pernah melakukan survai dengan hasil serupa.

Penilaian korupsi di Indonesia dengan “rapor merah” ini bukan saja berasal dari kalangan independen luar negeri seperti duraikan di atas, dari kalangan domestik —bahkan dari lembaga resmi pemerintah— juga kerap muncul penilaian serupa. Penilaian ini terutama dikemukakan oleh Badan Pengawasan Keuangan (BPK). Beberapa waktu belakangan, BPK mengumumkan berbagai bentuk “kebocoran” dan penyalahgunaan dana yang terjadi dalam proses penggunaan dana untuk pembangunan.

Bahkan Begawan Ekonomi Indonesia, almarhum Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengungkapkan asumsinya, bahwa kebocoran dana pembangunan di Indonesia mencapai 30 % dari total investasi. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebocoran adalah pemborosan (inefesiensi ekonomi) atas penggunaan sumber daya ekonomi. Jumlah persentase kebocoran tersebut adalah suatu angka yang cukup fantastis dan signifikan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia ini yang sedang membutuhkan dana untuk pembangunan. Hanya saja, tidak seorangpun bisa menunjuk apa saja sumber kebocoran itu.

Birokrasi dan Korupsi

Di samping statemen korupsi di Indonesia telah membudaya, seperti diuraikan di atas, pendapat lainnya menyatakan: bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas.

Hal ini disebutkan karena daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur korupsi, sehingga apabila dilakukan pemberantasan korupsi akan merusak arus penyaluran dana itu. Karenanya, struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.

Pada umumnya sumber atau biang terjadinya korupsi salah satunya adalah sebagai akibat dari proses birokrasi yang seringkali panjang dan berbelit-belit serta “bertele-tele”. Terutama berkaitan dengan masalah birokrasi perizinan.

Sehubungan dengan hal di atas, ada adagium yang berkembang dalam proses birokrasi pemerintahan (khususnya tentang perizinan ini) dalam rangka pelayanan terhadap kepentingan warga masyarakat, yaitu: “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”, bukan malah sebaliknya, “kalau bisa dipermudah mengapa harus dipersulit”. Munculnya adagium seperti ini karena adanya fenomena ke arah tersebut. Tidak akan mungkin ada asap kalau tidak ada apinya, mana mungkin tiba-tiba muncul asap tanpa api ?

Korupsi, Dipelihara ?

Di samping dua statemen di atas, sistem pengawasan yang lemah juga dapat dipandang sebagai faktor penyebab timbulnya korupsi. Menurut hemat penulis, sistem pengawasan yang lemah sebagai bagian dari proses birokrasi justru membuka peluang yang besar untuk terjadinya korupsi.

Budaya ewuh pakewuh, segan, sungkan, enggan dan malu dalam sistem pengawasan justru dapat menumbuhsuburkan perbuatan korupsi. Betapa tidak. Mari kita lihat tataran praktek pengawasan di lapangan yang berlatar belakang pada budaya ewuh pakewuh dan sebagainya itu.

Ketika seorang pejabat sudah tidak lagi menduduki jabatan, seringkali fasilitas yang diberikan kepadanya, seperti mobil dinas, sulit ditarik kembali. Dan celakanya kesadaran untuk mengembalikan mobil dinas itu kepada pemerintah rendah sekali.

Tanggung jawab menarik kembali mobil dinas, pada level Pemerintah Daerah, dalam hal ini ada pada dan merupakan tanggung jawab dari Kepala Bagian (Kabag) Perlengkapan. Kabag Perlengkapan ini seringkali merasa segan dan sungkan dengan pejabat yang tidak mau mengembalikan mobil dinas yang sudah bukan haknya lagi, dan malah dulunya merupakan atasannya.

Dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku, maka sesungguhnya Kabag. Perlengkapan dalam hal ini telah melakukan perbuatan korupsi, karena dia telah menguntungkan orang lain, yaitu membiarkan terus orang lain menikmati fasilitas mobil dinas yang bukan haknya lagi. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selengkap menyatakan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)” (garis bawah dari penulis)

Apa yang dilakukan oleh Kabag. Perlengkapan di atas merupakan perbuatan korupsi. Persoalannya adalah, pernahkah aparat penegak hukum (Kejaksaan, sebagai penyidik tindak pidana khusus) mengusut perbuatan korupsi seperti itu yang dilakukan oleh Kabag. Perlengkapan tersebut ? Bukankah tindakan-tindakan ewuh pakewuh ini sering terjadi, tapi celakanya tidak ada tindakan apa-apa ? Ini merupakan sektor korupsi yang dipelihara.

Kita mungkin juga belum pernah mendengar tindakan yang diambil terhadap pejabat, karena terbukti menggunakan/memakai mobil dinas yang menyimpang dari tujuan kedinasan. Dalam kehidupan keseharian, sesungguhnya penyimpangan terhadap penggunaan mobil dinas ini dapat disaksikan secara vulgar dan dengan mata telanjang. Konsekuensinya adalah, bahwa kita semakin sulit membedakan mana pejabat dan mana pula yang penjahat.

Apa yang dapat kita katakan dengan mobil dinas yang berseliweran di jalan raya ? Apa dan siapa yang dapat menjamin bahwa mobil dinas itu betul-betul digunakan untuk kepentingan dinas ? Adakah lembaga yang mengawasi dan diberi wewenang untuk “menjewer” terhadap pemanfaatan mobil dinas yang digunakan tidak untuk kepentingan dinas ? Bagaimanakah sebenarnya mekanisme pengawasan terhadap penggunaan mobil dinas itu ? Sejauhmanakah pengertian dinas, sehingga penggunaan fasilitas mobil dinas itu masih dalam batas toleransi ? Apakah jika anak si pejabat yang menggunakan mobil dinas bapaknya, untuk pacaran misalnya, masih dalam batas kedinasan bapaknya ? semuanya menghendaki transparansi. Sebab, konsep mobil dinas berbeda jauh dengan mobil pribadi yang dapat digunakan oleh siapa saja dan kemanapun ia suka.

Adakah hubungan antara penggunaan mobil dinas dengan tindak pidana korupsi ?

Kalau penggunaan atau pemanfaatan mobil dinas ini identik dengan mobil pribadi, maka sesungguhnya tidak perlu ada tindak pidana korupsi. Sebab konsep tindak pidana korupsi baru diperkenalkan ketika telah terjadi pemisahan secara tegas antara kekayaan publik dengan kekayaan pribadi.

Dulu, ketika Indonesia masih dikuasai oleh raja-raja, istilah tindak pidana korupsi belum dikenal. Sebab, antara harta kekayaan kerajaan dengan harta kekayaan milik sang raja, tidak ada pemisahan yang jelas dan tegas, keduanya menyatu. Tapi sekarang, pemisahan itu secara hukum telah ditetapkan secara tegas dan jelas. Apalagi berkaitan dengan masalah mobil dinas ini. Mobil dinas bukan milik pribadi, melainkan masuk dalam kategori harta kekayaan milik negara atau publik. Salah satu tanda yang membedakannya adalah dari warna plat yang digunakan.

Maka oleh sebab itu, makalah ini hanya sekedar mengingatkan aparat penyidik tindak pidana korupsi, yaitu Jaksa (KPK), bahwa penyimpangan terhadap penggunaan fasilitas mobil dinas adalah suatu bentuk kejahatan. Penyalahgunaan mobil dinas yang digunakan bukan untuk kepentingan dinas termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi (lihat ketentuan Pasal 3 di atas !). Dan lagi-lagi perbuatan korupsi seperti ini tak terjamah oleh aparat penegak hukum, sehingga korupsi seperti ini mengarah kepada korupsi yang “dipelihara”.

Padahal tindak pidana korupsi ini bukanlah merupakan delik aduan, setiap hari terjadi penyalahgunaan fasilitas mobil dinas, setiap hari itu pula aparat penegak hukum bungkam dan menutup mata. Ini artinya adalah, bahwa di Indonesia setiap hari terjadi korupsi. Karena makna tindak pidana korupsi berdasar Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 bukan hanya mengambil uang negara, melainkan jauh lebih luas dari sekedar itu, termasuk juga penyalahgunaan fasilitas yang diberikan oleh negara.

Kalaulah jumlah mobil dinas itu hanya sebatas hitungan jari tangan, mungkin kita tak perlu terlalu risau dengan kerugian negara (daerah) yang mungkin timbul dari penyalahgunaan mobil dinas itu. Lantak sajalah mau gunakan oleh siapa saja, oleh anaknya, menantunya, iparnya dan seterusnya. Tapi jika jumlahnya membengkak menjadi ratusan buah atau bahkan ribuan buah, dan jika digunakan sesuka hati dan oleh orang-orang yang tidak berhak, bukankah biaya pemeliharaan dan perbaikan setiap kali terjadi kerusakan akhirnya akan ditanggung oleh rakyat.

Menghadapi perbuatan-perbuatan korupsi “yang dipelihara” seperti itu, masyarakat tidak punya pilihan lain kecuali hanya ikut “menonton”. Karena tidak perlu lagi laporan (karena bukan delik aduan), toh setiap hari terjadi di depan mata dan hidung kita semua termasuk aparat penegak hukum.

Ketika “masyarakat” melakukan tindakan, dengan serta merta aparat penegak hukum akan menuduh warga masyarakat tersebut melakukan tindakan “main hakim sendiri” (daad van eigenrichting). Tapi bagaimana ketika aparat penegak hukum tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi tindak pidana korupsi yang terjadi itu ? adakah sanksi yang dapat dikenakan terhadap aparat penegak hukum yang diam dan bungkam seperti itu ? yeaaah !

Perhentian Marpoyan 25 April 2007

Penulis adalah dosen dan Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru

Penulis merupakan User Legalitas yang aktif menyumbangkan pemikirannya melalui artikel-artikel beliau




0 komentar:

Posting Komentar