Solusi Kasus BLBI

Selasa, 22 Juli 2008

Analisis oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita
(Pakar Hukum Universitas Padjajaran)


KASUS BLBI merebak kembali setelah Presiden SBY mengimbau agar pengemplang dana BLBI segera kembali ke Indonesia dengan catatan tidak akan diperlakukan semena-mena oleh aparat penegak hukum. Kasus ini lebih menarik perhatian lagi setelah beberapa pengemplang tersebut mendatangi Istana Kepresidenan dengan maksud baik.
Namun, secara politis menjadi tidak etis dan menimbulkan iklim yang tidak kondusif bagi penegak hukum dan agenda pemberantasan korupsi yang telah dicanangkan Presiden sendiri karena pada hakikatnya para pengemplang BLBI adalah aktor penyebab kerugian keuangan negara.

Dalam konteks kepastian hukum dan kemanfaatan penyelesaian kasus BLBI tersebut telah ditetapkan kebijakan di era pemerintahan Megawati, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah meyelesaikan kewajibannya dan tindakan hukum terhadap debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya.

Data debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya tercatat 29 orang dan 17 orang tidak menyelesaikannya. Dari 46 jumlah pemegang saham yang tidak mau menyelesaikan kewajibannya untuk menandatangani perjanjian MSAA atau MRNIA atau tidak mau mengikuti PKPS sebanyak delapan orang.

Dasar hukum penyelesaian R & D tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang notabene produk pemerintah dan DPR ketika itu.

Atas dasar kebijakan tersebut jelas bahwa penyelesain BLBI lebih mengedepankan kemanfaatan daripada sisi kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum saat ini. Hanya, dalam konteks penyelesaian kasus BLBI dilihat dari kacamata Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan telah direvisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi dan bukan hanya merupakan tindak pidana perbankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Opsi penentuan kasus BLBI merupakan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perbankan sangat tergantung dari Jaksa Agung sebagai ujung tombak penegakan jukum dalam pemberantasan korupsi ketika itu di mana KPK belum terbentuk. Dan, sudah tentu, Jaksa Agung yang menempati posisi setingkat menteri dalam kabinet sejak lama merupakan kerikil tajam yang dapat menghambat penuntasan kasus-kasus korupsi besar di mana seorang Jaksa Agung berkewajiban melaporkan kepada Presiden atas langkah yang sedang dan akan diambilnya dalam pemberantasan korupsi atau bahkan seorang Jaksa Agung tinggal melaksanakan strategi pemberantasan korupsi yang telah disiapkan oleh seorang Presiden.

Opsi penyelesaian kasus BLBI melalui perjanjian-perjanjian MSAA/MRNIA atau PKPS merupakan pilihan kebijakan politik yang mengedepankan win-win solution dan jelas bertentangan diametral dengan kebijakan politik hukum yang mengedepankan kepastian hukum. Masalah inti dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi besar terutama kasus BLBI ini adalah masalah sikap pemerintah yang tidak pernah kunjung konsisten dan rentan dalam menghadapi intervensi banyak kepentingan konglomerasi dan kelompok atau kepentingan politik, terutama dalam menghadapi tekanan IMF atau negara donor, baik secara individual atau kelompok.

Dampak negatif yang tampak dari inkonsistensi tersebut adalah munculnya fenomena dan fakta perlakuan hukum yang bersifat diskriminatif. Sementara kasus korupsi KPU dan kasus PLN dan Bank Mandiri sedang diadili, dengan mata telanjang kita menyaksikan kunjungan pengemplang BLBI ke Istana sekalipun dengan itikad baik, suatu keadaan yang bersifat kontroversial di mata masyarakat luas akan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terlepas dari kemanfaatan yang akan diperoleh di kemudian hari.

Sudah seharusnya pemerintah menegaskan kasus BLBI itu merupakan kasus tindak pidana perbankan atau kasus korupsi dengan dasar hukum bahwa asas hukum lex speciali lege generali hanya untuk kasus korupsi yang dinyatakan secara tegas ditentukan bahwa tindak pidana lain merupakan pidana korupsi (lihat Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001), sedangkan kasus tindak pidana perbankan hanya berlaku bagi setiap orang yang kepadanya diberlakukan khusus undang-undang perbankan (lex speciali systematic).

Jika dilihat dari penafsiran historis, jelas bahwa undang-undang korupsi lebih ditujukan kepada pejabat publik (pemerintah) daripada ditujukan kepada setiap orang yang bergerak di sektor swasta. Penafsiran gramatikal dari UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 telah mengaitkan setiap orang dengan tidak membeda-bedakan sektor publik atau sektor swasta yang melawan hukum secara langsung atau tidak langsung memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Di dalam balutan UU tersebut justru Pasal 14 jika dipahami mendalam merupakan rambu-rambu pembatas agar UU 31 Tahun 1999 tidak merupakan “pukat harimau” yang dapat menjaring semua kejadian termasuk tindak pidana di bidang lainnya (pajak, perbankan, pasar modal atau di bidang regulasi lainnya).

Sudah tentu kemelut dunia perbankan pada khususnya dan iklim aktivitas di sektor swasta lainnya dalam konteks pemberantasan korupsi disebabkan tidak adanya kesatuan persepsi dan penafsiran hukum yang sama terhadap latar belakang keberadaan dan substansi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta UU terkait lainnya seperti UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam konteks UU perpajakan, perbankan, dan UU administratif lainnya.

Kemelut semakin bertambah karena kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi sejak dulu sampai sekarang tidak konsisten dan cenderung diskriminatif. Imbauan kembali kepada kebijakan pemerintah masa lalu dengan berpijak kepada UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 masih dipertimbangkan pemerintah SBY dan sedang disusun kebijakan baru yang belum kita ketahui.

Namun, tanda-tanda kembali dan tetap mempertahankan kebijakan masa lalu sudah tampak dengan diserahkannya penyelesaian BLBI kepada Menteri keuangan sebagai ujung tombak, bukan Kejaksaan Agung. Jika demikian halnya jelas pemerintahan SBY hendak menegaskan batas-batas lingkup wewenang Jaksa Agung dalam kasus BLBI atau dengan kata lain, hendak ditarik garis batas antara hukum administratif yang memuat ketentuan pidana dan hukum pidana khusus seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah tersebut sepanjang semuanya dilaksanakan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau pada masa kampanye pemilihan Presiden pada 2009.

Dampak hukum dari kebijakan politik tersebut cukup mendasar, yaitu diperlukannya kebersamaan pakar hukum dan praktisi hukum untuk duduk bersama merenungkan kembali langkah-langkah pemberantasan korupsi masa lalu dan sekarang serta harus dilakukan di masa mendatang terhadap kasus perbankan, perpajakan, kepabeanan, ataupun sektor pelayanan publik dengan harapan terdapat kesamaan persepsi untuk me-review seluruh sistem dan asas-asas hukum yang selama ini telah dioperasionalkan terhadap kasus-kasus yang ditengarai sebagai tindak pidana korupsi dan meletakan pada tempat yang selayaknya dan proporsional.

Secara kontekstual peraturan perundang-undangan korupsi vide Pasa 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang secara khusus memuat ketentuan murni mengenai definisi dan rumusan tindak pidana korupsi perlu dipertimbangkan kembali dengan tolok ukur apakah pemberantasan korupsi, baik yang menyangkut sektor publik maupun sektor swasta, bertujuan menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kinerja aktivitas pelayanan publik yang lebih baik atau iklim bisnis yang lebih sehat atau ditujukan secara khusus untuk menjerakan para pelaku dalam dugaan tindak pidana korupsi ?

Untuk menjawab pertanyaan yang bersifat dilematis tersebut maka penerapan strategi pencegahan (preventif) dan strategi pemulihan (asset recovery), di samping strategi penghukum merupakan jawaban yang pas bagi situasi ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang di Indonesia. Perpaduan ketiga strategi tersebut telah menempatkan penghukuman berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai suatu ultimatum remedium, sedangkan penerapan ketentuan pidana di dalam UU administratif lainnya merupakan premium remedium.

Yang aneh adalah bahwa kebijakan pemerintah terhadap BLBI khusus bagi obligor yang nonkooperatif justru sudah melangkahi ketiga strategi tersebut. Penuntasan kasus BLBI saat ini akan menjadi preseden penyelesaian kasus-kasus yang sama di masa yang akan datang. Karena itu, Presiden SBY harus dapat menangkap momentum ini sebagai solusi yang bersifat permanen sebagaimana halnya yang telah dilakukan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan GAM.

Note: Diambil dari Harian Seputar Indonesia, 20 Februari 2006.

http://www.portalhukum.com/index.php?name=News&file=article&sid=35


0 komentar:

Posting Komentar