Harapan Masa Depan Pemberantasan Pencucian Uang

Sabtu, 05 Juli 2008

Dikirim/ditulis pada 29 December 2007 oleh Romli Atmasasmita
ARTIKEL HUKUM PIDANA

[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad /Mantan Ketua Tim RUU Pencucian Uang Tahun 2002 - Tulisan-tulisan Penulis dapat dilihat di sini]


Pemberantasan tindak pidana pencucian uang tidaklah semudah perkiraan sementara orang karena harus menghadapi kompleksitasi ketentuan tentang perbankan dan ketentuan lain terkait dengan pengaturan “kejahatan asal” (predicate offence). Penggunaan jasa lembaga keuangan baik bank dan non-bank merupakan kunci keberhasilan lalu lintas perdagangan internasional namun di balik itu juga tersembunyi masalah besar dalam pemberantasan korupsi dan pelacakana aliran dana hasil korupsi yang bersifat lintas batas territorial. Perkembangan teknologi “electronic funds transfer” seharusnya dapat diimbangi dengan peningkatan teknologi dalam hal “pelacakan seketika” (prompt entailment) sehingga dengan cepat dapat diketahui keabsahan penempatan dan proses intgerasi sejumlah uang yang diduga kuat berasal dari tindak pidana termasuk korupsi.

Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana pencucian uang di Indonesia telah mengalami stagnasi dalam keberhasilan membawa kasus ini ke pengadilan. Hal tsb disebabkan,

pertama, masih belum ada kesepahaman di antara PPATK, penyidik kepolisian dan penuntut umum tentang apa dan bagaimana seharusnya membuktikan kasus pencucian uang. Sekalipun secara normatif di dalam UU Pencucian Uang tahun 2003, telah ada penjelasan mengenai hal tsb, tampaknya belaum terdapat penafsiran hukum yang sama.

Kedua, celah hukum UU Pencucian Uang masih tampak jelas dengan belum diaturnya hukum acara untuk melaksanakan “pembuktian terbalik” sekalipun dalam Pasal 35 UU tsb telah diatur secara jelas. Kelemahan normatif ini diperberat dengan belum dibangunnya sistem komunikasi “online” antara aparatur gpenegak hukum sehinggga pelacakan transaksi keuangan yang mencurigakan dapat segera diketahui pemiliknya dan segera dilakukan pembekuan dan penyitaan.

Faktor ketiga, yang menghambat implementasi UU Pencucian Uang, adalah, KUHAP telah membatasi ruang gerak kepolisian dan kejaksaan untuk memeriksa seorang tersangka dalam kasus tppu sesuai dengan batas waktu lamanya penahanan yang ditetapkan. Kondisi tersebut lebih diperberat lagi dengan tidak adanya wewenang PPATK untuk menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan, namun hanya sebatas kantor pusat analisis semata-mata.

Dalam pemberantasan TPPU jelaslah bahwa posisi dan status hukum ketiga lembaga ini jelas bertentangan secara diametral; dua institusi pertama sekalipun tidak independent tetapi memiliki wewenang penyelidikan,penyidikan dan penuntutan sedangkan PPATK sekalipun merupakan lembaga independent tetapi tidak memiliki kedua fungsi tersebut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari status hukum PPATK Indonesia masih merupakan lembaga yang melaksanakan fungsi administratif (administrative type model), dan belum merupakan lembaga penegakan hukum (law enforcement type model/LEM).

Implikasi dari masalah hambatan tersebut berdampak negatif terhadap kinerja pemberantasan tindak pidana pencucian uang di mana data statistic menunjukkan bahwa, hanya satu perkara dengan dakwaan pencucian uang di pengadilan dari lebih dari 400 kasus transasksi keuangan mencurigakan yang sudah berada ditangan kepolisian, dan hanya ada 48 kasus di tangan kejaksaan).

Kasus pencucian uang yang melibatkan Adrian W dan beberapa banyak lagi tersangka korupsi yang seharusnya juga didakwa dengan pencucian uang tidak berjalan dengan optimal dan efektif. Seiring dengan kemandulan penegakan hukum tersebut sering ditiupkan masalah sulitnya pembuktian TPPU tsb dengan dua alasan yaitu, bagaimana kaitan pembuktian antara “kejahatan asal” dan “TPPU”; dan kedua, lemahnya ketentuan pasal 3 UU Nomor 15 tahun 2002 jo UU Nomor 25 tahun 2003 untuk menjerat pelaku tppu aktif karena secara teknis hukum dinilai tidak benar.

Namun demikian, pendapat tsb masih dapat diatasi jika aparatur penyidik dan penuntut umum mau bersungguh-sungguh membawa kasus TPPU ini ke pengadilan, antara lain dapat digunakan ketentuan tentang pembuktian terbalik di persidangan dengan menyerahkan sepenuhnya kewenangan kepada hakim untuk menentukan hukum acara terbaik dalam proses pembuktian terbalik tsb, dan mau bekerja sama dengan KPK dan Direktorat Jenderal Pajak dalam kaitan indikasi harta kekayaan tersangka/terdakwa yang tidak wajar.

Sesungguhnya masih banyak jalan menuju ke roma begitulah kata pepatah sehingga tidaklah ada alasan hukum yang signifikan untuk tidak menggunakan seoptimal mungkin seluruh ketentuan UU tentang TPPU tsb. Dalam praktik tampaknya factor ketidakinginan aparatur penyidik dan penuntut lebih besar dari factor ketidakmampuan mereka selaku aparatur penegak hukum dalam memberantas pencucian uang ditambah dengan factor kelemahan koordinasi antar kedua instansi tsb dengan PPATK dan instansi terkait lainnya.

Lolosnya tersangka Maria Pauline dari jangkauan hukum, yang melarikan diri ke Singapura dan kemudian kembali ke Belanda, merupakan tamparan keras terhadap kinerja aparatur kepolisian,kejaksaan, PPATK,dan Ditjen Imigrasi.

PPATK di masa yad harus mengadopsi model lembaga penegak hukum , dan untuk tujuan tersebut diperlukan perubahan mendasar di dalam UU Nomor 15 tahun 2003 . Hanya dengan cara tersebut kepercyaan dunia lalu lintas keuangan internasional akan tumbuh kembali dengan baik sehingga akan memperkokoh posisi Indonesia sebagai anggota asosiasi PPATK Se-dunia (Edmont group).

Dalam kaitan kebijakan hukum baru tsb diperlukan perubahan mendasar baik yang bersifat normative (hokum materiel dan hukum formil) maupun perubahan kelembagaan. Perobahan kelembagaan PPATK menjadi Komisi Pemberantasan Pencucian Uang merupakan syarat kedua agar terjadi perobahan signifikan dalam pemberantasan pencucian uang.

Komisi diberikan wewenang yang luas dan sama dengan KPK seperti antara lain, Komisi dapat memberhentikan tersangka dari jabatan sementara tanpa izin atasan; merekam dan menyadap komunikasi dan transaksi elektronik tersangka; menahan tanpa izin atasan.

Syarat ketiga, untuk memperkuat Komisi tsb perlu dibentuk pengadilan khusus untuk memeriksa dan mengadili kasus pencucian uang yang terdiri dari hakim majelis 5 (lima) orang, terdiri dari 3 (tiga) hakim adhoc, dan 2 (dua) hakim karir. Pembentukan Komisi dimaksud sudah tentu memerlukan biaya tambahan yang akan membebani APBN namun demikian keuntungan yang lebih besar bagi pembangunan sistem dan kinerja aktivitas lalu lintas keuangan yang sehat dapat menutup besarnya anggaran yang dikeluarkan.

Pembentukan Komisi akan mempersatukan seluruh wewenang penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan kasus tppu. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan 2 (dua) model, yaitu model komprhensif dan model parsial; model komprehensif menyatukan wewenang penyelidikan,penyidikan dan penuntutan, sedangkan model parsial minus penuntutan. Lingkup Komisi ini sebaiknya meliputi aspek pencegahan, penindakan, dan pemulihan asset hasil kejahatan (asset recovery), lebih luas dari model penegakan hukum atau model administrative yang dianut di beberapa negara.


Read More...

Urgensi RUU Pengembalian Aset

Dikirim/ditulis pada 29 December 2007 oleh Romli Atmasasmita

ARTIKEL HUKUM PIDANA

[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad/Ahli UNODC Untuk UNCAC - Tulisan lain dari Penulis dapat dilihat di sini]

Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui Pemerintah dan DPR RI, Rancangan Undang-undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk salah satu prioritas program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU Pengadilan TIPIKOR; RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan “bench-mark” yang amat menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia untuk masa yang akan datang.

RUU PA merupakan ruu terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi politik dari ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah, relevankah saat ini diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset (RUU PA), dan bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya suatu pengaturan secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan ketentuan di luar KUHP atau KUHAP seperti undang-undang pemberantasan korupsi dan uu pencucian uang.

Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan korupsi terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke Negara lain, tampak bahwa ruu tsb sangat penting dan mendesak. Mengapa ?


  1. pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh) tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya, laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah, sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara sampai saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA dan BPK.
  2. Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan operasional penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan sehingga gerak langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara terbuka mungkin akan besar pasak daripada tiang.
  3. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi internasional yang dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “StAR Initiative” dengan mengacu kepada Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah pengembalian asset hasil kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya mengatasi kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.
  4. Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian asset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan benda-benda sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana. Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat mengatur pengelolaan asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk kepentingan pelaksanaan operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara. Bahkan merujuk kepada KAK PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006, kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk korupsi, bersifat independent, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan di atas; apalagi kepercayaan akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan masyarakat luas.
  5. Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian asset hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup dan objek pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan di Negara lain.
  6. Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina) , Sani Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta (Requested State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain, Negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana asetnya dituntut untuk dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan bahwa proses peradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik kembali ke Negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan2 lainnya yang dituntut oleh Negara yang Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta kekayaan mantan presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus ditempatkan di suatu “escrow account” Bank di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independent. Untuk kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa, penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-hutang luar negeri Negara ybs.

Proses pengembalian asset dengan berbagai persyaratan-persyaratan tsb di atas merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum internasional khususnya dalam pemberantasan korupsi, dan sekaligus merupakan preseden di masa yad bagi setiap Negara yang memiliki kebijakan hukum dengan tujuan pengembalian asset hasil kejahatan /korupsi; kebijakan hukum dimaksud tidak dapat kita ingkari kenyataan di mana kejahatan telah bersifat transnasional dan asset hasil kejahatan selalu saja lebih cepat berhasil ditempatkan di Negara lain jika dibandingkan dengan keberhasilan suatu Negara/aparat penegak hukum mengembalikan asset dimaksud dengan cepat dan mudah ke Negara-nya.

Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara2 tsb, dan hukum kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan menyelamatkan asset-aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.

Atas dasar pertimbangan tsb di atas maka dapat ditegaskan bahwa, pasca ratifikasi KAK PBB tersebut, justru keberadaan RUU PA (RUU Pengembalian Aset, bukan Perampasan Aset) merupakan salah satu jaminan hukum yang kuat dan dapat diterima oleh masyarakat internasional dewasa ini jika dibandingkan dengan hanya mempertahankan keberadaan ketentuan perundang-undangan yang se-adanya dan bersifat “status-quo”.

Read More...

Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dikirim/ditulis pada 9 July 2007 Oleh : Ramelan

1. Pendahuluan

Dalam kurun waktu keberadaan negara ini sudah cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat, silih berganti sejalan dengan masa transisi sistem politik dan pemerintahan. Misalnya saja, Peraturan Penguasa Militer Nomor : PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRT/PEPERPU/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Penilikan Harta Benda, diundangkan pada situasi politik setelah Republik Indonesia memperoleh kemerdekaan dan sistem politik pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Setelah peraturan Penguasa Perang Pusat (PEPERPU) tersebut yang sifatnya temporer tidak berlaku lagi, kemudian diundangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 (yang disyahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1961) tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berada dalam rezim dengan sistem politik dan pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 (yang dinyatakan berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959) yang menggantikan UUD Sementara 1950.

Setelah terjadi perubahan sistem politik Orde Baru (era kekuasaan Soeharto) yang menggantikan politik Orde Lama, (era kekuasaan Soekarno) dilahirkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Dalam masa perubahan sistem politik era reformasi yang menggantikan sistem politik Orde Baru, dimana masalah korupsi menjadi topik utama menuju perubahan, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Jika dicermati setiap konsideran maupun penjelasan umum dari setiap perubahan dalam Perundang-Undangan tersebut diatas, akan terungkap bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang berbunyi bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, sementara itu perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.

Jadi setiap lahirnya Undang-Undang tentang pemberantasan korupsi, senantiasa diiringi harapan bahwa Undang-Undang yang baru akan dapat mengatasi masalah tindak pidana korupsi. Masyarakat dijanjikan akan datangnya zaman baru yang bebas dari korupsi.

Harapan tersebut pada awalnya memang menggembirakan, pemberantasan korupsi dilaksanakan sungguh-sungguh dengan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Namun ternyata kemudian, seiring dengan perjalanan waktu ketika pemberantasan korupsi menyentuh hampir seluruh struktur dan sistem masyarakat, kekhawatiran mulai muncul pada sekelompok masyarakat terutama elite kekuasaan, mereka merasa bahwa pada gilirannya akan menjadi target operasi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dari situasi inilah akan timbul perlawanan baik terang-terangan maupun secara tersembunyi dengan menyusup ke pembuat kebijaksanaan dengan maksud mempengaruhinya sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi tidak optimal. Perlawanan secara tidak langsung juga dilakukan melalui isu-isu yang dapat menghambat jalannya pemerintahan dan pembangunan. Penolakan para birokrat untuk diangkat sebagai pimpinan proyek dan bendaharawan proyek, ketakutan pimpinan instansi pemerintahan mengambil keputusan yang strategis, ketidak beranian pimpinan bank menyalurkan kredit, keengganan pengusaha mengambil kredit pada bank-bank pemerintah serta bermacam-macam sikap lain yang negatif, senantiasa dihembuskan sebagai isu-isu dan dalih untuk melakukan perlawanan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perlawanan dan penolakan tersebut oleh sementara orang dipandang sebagai wujud keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu menganggap orang mulai takut melakukan korupsi. Namun bagi sebagian orang yang memiliki kejujuran dan pengabdian, situasi psikologis, rasa takut tersebut, bukan disebabkan karena takut korupsi. Kekhawatiran mereka lebih tertuju pada ketidak pastian dalam penegakan hukum, tidak ada konsistensi dalam penerapan hukum.

Mereka senantiasa was-was, bahwa apa yang diputuskan dan dilakukan saat ini sudah benar dan sesuai dengan ukuran norma hukum yang berlaku pada masa kini, ternyata di kemudian hari setelah terjadi pergantian rezim pemerintahan, keputusannya tersebut dinilai keliru dan melanggar hukum berdasarkan ukuran norma hukum yang berlaku pada rezim pemerintahan yang baru. Pada intinya, orang khawatir tidak ada kepastian aparat penegak hukum dalam menafsirkan atau menginterpretasikan dan menerapkan peraturan perundang-undangan.

Pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara profesional, dengan menerapkan hukum secara benar sejalan dengan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam setiap peraturan perundang-undangan. Menjadi penting bagi aparat penegak hukum untuk memegang teguh metode intepretasi hukum yang diajarkan oleh ilmu pengetahuan hukum pidana.

2. Sekilas Tentang Metode Interpretasi Hukum

Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan yang dicapai di luar hukum tertulis”.[1]) Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.

Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-undang selaku pencipta hukum. [2])

Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan pembuat undang-undang.

Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat diterapkan pada peristiwa tertentu.

Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang.

Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri.[3]

Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau interpretasi menurut bahasa atau gramatikal, interpretasi menurut sejarah atau interpretasi historis, interpretasi menurut sistem yang ada dalam hukum atau interpretasi sistematis, interpretasi dogmatis, interpretasi sosiologis, atau interpretasi teleologis, interpretasi perbandingan hukum dan interpretasi futuristis.

Interpretasi otentik menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara.[4]

2.1. Interpretasi bahasa atau interpretasi gramatikal.

Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.

Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.

2.2. Interpretasi menurut sejarah atau historis

Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Ada 2 (dua) jenis interpretasi historis yaitu :

a. Interpretasi menurut sejarah hukum (rechts historische-interpretatie)

Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih berlaku di negara lain ; seperti misalnya KUHP kita yang berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, berhubung Belanda pada waktu itu di jajah oleh perancis.

b. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet historische-interpretatie)

Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi sejarah perundang-undangan.


2.3. Interpretasi sistematis atau interpretasi dogmatis

Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekwensinya dalam hukum bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.

Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari sistem perundang-undangan.

2.4. Interpretasi sosiologis atau interpretasi teleologis.

Sementara ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan interpretasi teleologis.[5] Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.

Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang - undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu sekarang.[6]

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta menerangkan bahwa kadang-kadang interpretasi bahasa di bantu oleh interpretasi sejarah dan interpretasi sistematis masih belum memadai dan perlu diselidiki sebab-sebab atau faktor-faktor apa dalam masyarakat atau perkembangan masyarakat yang bisa memberi penjelasan mengapa perundang-undangan (pemerintah) atau pengambil inisiatif undang-undang (DPR) bergerak atau tergerak mengajukan RUU itu.

Ini dinamakan interpretasi sosiologis.[7] Kadang-kadang interpretasi sosiologis pun masih belum bisa memuaskan dan harus dibantu oleh semua interpretasi yang mengemukakan tujuan dari usaha membentuk perundang-undangan baru itu. Ini disebut interpretasi teleologis yang digunakan untuk membantu / menunjang argumentasi sosiologis.[8]

2.5. Interpretasi komparatif atau interpretasi perbandingan hukum.

Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan. Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan metode ini terbatas.[9]

2.6 Interpretasi futuristis.

Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum, misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.

3. Polemik Interpretasi Rumusan Tindak Pidana Korupsi

Pengamatan terhadap praktek penegakan hukum perkara tindak pidana korupsi dapat di identifikasi bahwa dari sebanyak 13 (tiga belas) pasal Rumusan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanyalah ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang sering digunakan untuk menuntut terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini dapat di maklumi mengingat perumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah sangat luas dan elastis sifatnya sehingga dapat menjaring hampir setiap perbuatan yang melawan hukum. Hal ini yang menimbulkan persoalan-persoalan yuridis dalam implementasinya.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dirumuskan dengan kata-kata : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Perumusan yang luas dan dipandang kurang jelas tersebut sering menimbulkan pendapat yang bervariasi dan vergensi makna. Hal ini bukan saja melahirkan polemik interpretasi dalam persidangan suatu perkara pidana, akan tetapi juga membuahkan inkonsistensi putusan pengadilan yaitu pandangan-pandangan yang berbeda antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain. Interpretasi yang menyangkut, subyek hukum,”unsur, melawan hukum “ serta unsur, keuangan negara atau perekonomian negara” dari Pasal 2 ayat (1) tersebut menjadi perdebatan yang tidak pernah habis-habisnya dan akan selalu berulang dalam setiap persidangan. Perdebatan pandangan juga telah melibatkan para akademisi yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk memberikan keterangan di persidangan sebagai alat bukti ahli.

3.1. Subyek Hukum

Subyek hukum dalam Pasal 2 ayat (1) dirumuskan dengan kata, setiap orang “ yang secara otentik telah mendapat penjelasan dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu dimaksudkan sebagai, orang perorang atau termasuk korporasi.”

Persoalan subyek hukum ini akan mengemukakan manakala yang menjadi terdakwa adalah seorang yang menduduki jabatan pengurus korporasi, ketua yayasan atau perkumpulan apapun ataupun seorang yang menjabat sebagai direksi perseroan terbatas atau direksi badan usaha milik negara (BUMN). Sementara itu perbuatan yang di dakwakan terkait dengan jabatannya selaku pengurus atau direksi suatu korporasi, yang biasanya dirumuskan dalam surat dakwaan dengan kalimat ; Bahwa ia terdakwa X (nama terdakwa) selaku Direktur P.T (Perseroan Terbatas) Z (nama korporasi) yang diangkat berdasarkan surat keputusan Menteri………………..dst.”

Uraian surat dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut menimbulkan polemik apakah yang dimaksud dalam surat dakwaan tersebut adalah terdakwa sebagai subyek hukum orang perseorangan ataukah sebagai subyek hukum korporasi yang diwakili oleh pengurus bernama X sebagai Direktur P.T. (Perseroan Terbatas). Interpretasi terhadap rumusan dakwaan yang menyangkut subyek hukum tersebut memiliki akibat hukum berbeda.

Jika subyek hukum yang dimaksud adalah korporasi maka ketentuan pemidanaan akan berlaku Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu ancaman pidana hanyalah denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga). Konsekuensinya lebih lanjut bahwa terdakwa yang mewakili korporasi tidak dapat dikenakan tindakan penahanan.

Jika yang di maksud dengan subyek hukum tersebut orang perorangan maka ketentuan pemidanaan adalah yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sebagai kosekuensi ancaman pidana ini, subyek hukum orang perorangan dapat dikenakan tindakan penahanan.

Pada dasarnya ternyata bahwa dikalangan aparat penegak hukum masih belum mampu mengimplementasikan perbedaan interpretasi subyek hukum orang perorangan dan subyek hukum korporasi. Kesulitan mengimplementasikan interpretasi subyek hukum korporasi dapat di indikasikan bahwa hingga saat ini belum ada “ satupun korporasi yang dijadikan subyek hukum dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi.” Hal ini dapat dimengerti karena dasar-dasar pertanggungjawaban pidana korporasi berdasarkan doktrin “Strict Liability dan Vicarious Liability” belum begitu populer dikalangan penegak hukum.

3.2. Unsur Melawan Hukum

Perumusan yang luas dengan memasukkan unsur melawan hukum sebagai sarana memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah membuka kemungkinan terjadinya multi interpretasi melalui interpretasi ekstensif. Hal ini ditandai adanya suatu kecenderungan dalam praktek peradilan dimana para praktisi hukum melalui perdebatan dan polemik yang diajukan dalam requesitoir, pledoi maupun putusan pengadilan menginterpretasikan unsur melawan hukum menurut subyektifitas kepentingan masing-masing. Interpretasi tentang hal ini pada umumnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa :

a. Seorang yang melanggar hukum peraturan pidana lain (seperti, penyelundupan, pelanggaran pajak, penerimaan kredit secara tidak wajar yang merupakan pelanggaran pidana perbankan, pelanggaran tindak pidana kehutanan dan lain-lain) dimasukkan pula sebagai pelanggaran undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya tindak pidana yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Perumusan unsur secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi adalah sangat luas dan umum dan bersifat terbuka untuk ditafsirkan yaitu meliputi setiap perbuatan yang melanggar ketentuan pidana.

Dengan demikian setiap perbuatan yang melanggar perundang-undangan pidana (KUHP maupun perundang-undangan lainnya) asalkan terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat diterapkan sebagai pelanggaran Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sebagai contoh ekstrim dapat di kemukakan misalnya seseorang yang melakukan pencurian mesin komputer milik inventaris kantor pemerintah akan dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi, karena perbuatannya memenuhi unsur melawan hukum, memperkaya diri sendiri, unsur kerugian keuangan negara. Interpretasi yang demikian tentu saja menimbulkan ketidak pastian hukum, karena orang tidak mengetahui dengan pasti kriteria apa perbuatan yang melanggar ketentuan pidana lain tersebut diterapkan sebagai tindak pidana korupsi dan kapan diterapkan murni pelanggaran tindak pidana lain yang khusus untuk perkara tersebut.

Prof. Oemar Seno Adji SH mengkritik keras cara-cara penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi semacam itu, dengan menyatakan :

“ Tidak dapat di pungkiri, bahwa ada suatu kecenderungan para penegak, “hanteerder” kewenangan dan pengadilan pula, dalam menghadapi suatu perumusan yang luas, umum dan terbuka dalam perundang-undangan mengadakan suatu interpretasi yang extensif.

Malahan apabila tidak terdapat hambatan pejabat-pejabat hukum tersebut bersikap berkelanjutan, dan agak ekssesif dalam mengartikan perumusan yang luas terbuka kita. Dapat timbul apa yang dikatakan oleh Pompe “ overspanningen” dalam Hukum Pidana, yang meliputi dan memasukkan penerapan peraturan-peraturan hukum, yang dimaksudkan tidak termasuk dalam jangkauan peraturan peraturan dengan rumus yang luas dan terbuka itu.[10]

Interpretasi yang luas dari perumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 selain menimbulkan ketidak pastian hukum, juga terbukti mengesampingkan nilai dan makna filosofis dari suatu perundang-undangan pidana yang dibuat khusus untuk menghadapi perbuatan yang khusus diatur dalam undang-undang yang di maksud.

Oleh karena itu perlu diadakan pembatasan pengertian dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dirumuskan secara luas dan umum tersebut. Prof.. Oemar Seno Adji menganjurkan untuk dilakukan rechtsverfijning (penghalusan hukum) dalam implementasinya oleh hakim yaitu suatu aturan umum itu dibatalkan oleh kekecualian khusus.[11]

Bilamana terjadi suatu peristiwa yang merupakan suatu tindakan tindak pidana penyelundupan maka kepadanya diterapkan dakwaan undang-undang kepabeanan, jika suatu peristiwa pidana merupakan suatu tindak pidana pelanggaran hutan seharusnya hanya diterapkan undang-undang tentang kehutanan, tidak lagi diterapkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.


b. Penunjukan Langsung Pengadaan Barang/Jasa dan Interpretasi Unsur Melawan Hukum

Dalam praktek penegakan hukum sering terjadi polemik antara aparat penegak hukum dengan tersangka / terdakwa dan penasehat hukum dalam kasus pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan dana pemerintah, menyangkut sistem pengadaan dengan metode penunjukan langsung rekanan.

Dalam pandangan aparat penegak hukum perbuatan pengadaan barang/jasa dengan metode penunjukan langsung di interpretasikan sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang telah beberapa kali dilakukan perubahan dan terakhir perubahan keempat berdasarkan peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006, sedangkan bagi tersangka, terdakwa maupun penasehat hukum menginterpretasikan bahwa penunjukan langsung tersebut masih dalam batas-batas yang diatur oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003.

Jika diperhatikan argumentasi yang dikemukakan dalam perdebatan, pada umumnya mereka menafsirkan unsur secara melawan hukum dengan sangat sederhana dan normatif yaitu hanya menggunakan ukuran melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003. Mereka memandang bahwa pelanggaran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, “identik” dengan pelanggaran unsur melawan hukum undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, atau dengan kata lain pelanggaran hukum administrasi sama dengan pelanggaran melawan hukum dalam hukum pidana.

Interpretasi yang demikian itu dirasakan sebagai kesewenang-wenangan yang menimbulkan ketidak adilan dan ketidak pastian hukum. Seyogyanya kaidah teoritis interpretasi hukum, baik yang dikemukakan sebagai doktrin maupun yurisprudensi dipakai secara mendalam, bukan interpretasi yang didasarkan pada logika subyektif.

Penunjukan langsung baru merupakan perbuatan melawan hukum apabila unsur kesengajaan penggelembungan harga atau diikuti dengan penyuapan kepada pejabat yang bersangkutan, suatu pandangan yang menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas kepatutan merupakan perbuatan yang dicela oleh masyarakat.

c. Kriminalisasi Hukum Bisnis Dalam Implementasi Unsur Melawan Hukum

Polemik tentang hal ini terjadi dalam kasus-kasus korupsi di BUMN terutama menyangkut investasi atau operasional perusahaan. Misalnya saja suatu Direksi BUMN melakukan kegiatan investasi jangka pendek atau operasional perusahaan, dimana sebagian tindakannya telah menguntungkan perusahaan, akan tetapi pada suatu saat investasi yang dilakukan gagal sehingga menimbulkan kerugian perusahaan.

Dalam kasus investasi yang menimbulkan kerugian, direksi dimaksud dituntut ke pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi atas dasar melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tidak melakukan penghati-hati, tidak mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku dalam perusahaannya.

Sementara itu, tersangka/terdakwa berdalih bahwa kegiatan operasional dan investasi yang rugi tersebut adalah merupakan kegiatan bisnis sebagiamana yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya. Oleh karena itu kerugian adalah merupakan resiko bisnis, karena ternyata sebagian besar kegiatan serupa telah mendatangkan keuntungan.

Dari contoh-contoh tersebut diatas menunjukan bahwa implementasi unsur melawan hukum dipandang tidak memiliki ukuran-ukuran yang jelas, dan menimbulkan ketidak pastian hukum. Polemik terjadi menyangkut argumentasi apakah peristiwa itu murni dalam ruang lingkup hukum bisnis, yang diukur menurut norma perundang-undangan Perseroan Terbatas, ataukah peristiwa tersebut dapat di golongkan sebagi pelanggaran tindak pidana.

d. Interpretasi Unsur Melawan Hukum Menurut Yurisprudensi

Salah satu putusan Mahkamah Agung yang sangat monumental dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung Nomor 275K/PID/1983 tanggal 15 Desember 1983 dalam perkara atas nama Raden Sonson Natalegawa. Dalam pertimbangannya mengenai unsur melawan hukum di kemukakan sebagai berikut:

“ Menimbang bahwa menurut mahkamah agung penafsiran terhadap putusan sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”

“ Menimbang bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada jabatan secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan yang melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk persaan hati masyarakat banyak.”

Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut menunjukan interpretasi hukum yang dipengaruhi oleh ajaran hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[12] Dari putusan Mahkamah Agung tesebut dapat disimpulkan tentang interpretasi melawan hukum dalam tindak pidana korupsi yaitu :

  1. Pengertian unsur melawan hukum tidak tepat bilamana hanya di hubungkan dengan peraturan hukum yang ada sanksi pidananya. Melawan hukum dapat dihubungkan dengan peraturan hukum yang tidak memuat sanksi pidana.
  2. Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum pengertian unsur melawan hukum harus juga diukur berdasarkan asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
  3. Menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menggunakan kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan perbuatan melawan hukum karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.

Dalam praktek peradilan, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut selalu di jadikan referensi dalam menginterpretasikan unsur melawan hukum. Akan tetapi yang perlu di perhatikan dalam menginterpretasikan disini adalah bagaimana membuktikan suatu peristiwa yang bertentangan dengan peraturan yang tidak ada sanksi pidananya, adalah peristiwa yang dicela masyarakat bilamana diukur menurut asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

Seharusnyalah disini menggunakan ukuran-ukuran yang obyektif menurut ilmu pengetahuan, bukan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, atau penasehat hukum atau hakim, disinilah letak pentingnya keterangan ahli yang terkait bidang permasalahan yang didakwakan.

4. Penutup

Praktek pemberantasan tindak pidana korupsi melalui penegakan hukum masih dirasakan adanya ketidak pastian hukum atau yang dikenal dengan istilah “tebang pilih”. Pada dasarnya hal ini disebabkan karena pemahaman terhadap rumusan tindak pidana tidak didasarkan pada metode interpretasi yang diajarkan oleh ilmu hukum dan yurisprudensi.

Perumusan tindak pidana korupsi yang terlalu luas, umum, terbuka sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 membuka peluang untuk di interpretasikan secara ekstensif, mencakup tindak pidana lain yang fungsi dan maknanya bersifat khusus dan bukan yang dimaksudkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dalam implementasinya perlu diadakan pembatasan dengan melakukan penghalusan hukum (rechtsverfijning).

Yurisprudensi telah memberikan interpretasi atas unsur melawan hukum tindak pidana korupsi dengan menggunakan ukuran-ukuran, asas-asas hukum tidak tertulis dan asas-asas umum mengenai kepatutan dalam masyarakat. Implementasi terhadap interpretasi ini seyogyanya menggunakan ukuran-ukuran obyektif berdasarkan ilmu pengetahuan yang digali dari keterangan ahli, bukan dengan ukuran subyektif jaksa penuntut umum, penasihat hukum maupun hakim.


END NOTE:

[1]) I.F. Stone, Peradilan Socrates, Skandal Terbesar Dalam Demokrasi Athena (The trial of Socrates), diterjemahkan oleh Rahma Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, 1991, hal. 210.

[2]) Wirjono Prodjodikoro, “Salah Satu Dasar Segala Hukum Adalah Rasa Keadilan”, dalam Bunga Rampai Hukum – Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, 1974, hal. 28.

[3] Ibid., hal 205-206

[4] Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hal 140-141.

[5] Mochtar Kusumaatmaja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,Buku 1,Alumni, Bandung, 2000, hal 106-107.

[6] Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142

[7] Mochtar Kusumaatmadja dan B Arief Sidharta,op.cit.,hal 106

[8] Ibid.,hal 107

[9] Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hal 145

[10] Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan,Erlangga, Jakarta 1985 hal 247

[11] Oemar Seno Adji, Ibid hal 248-249 dan 260

[12] Lili Rasyidi dan I.B. Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal 83.


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia. Masalah dan Pemecahannya, Gramedia, Jakarta, 1984.
_____, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Presindo,Jakarta, 1984.
_____, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,1994.
_____, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.

Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Direktorat Jenderal Pembinaan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta.

Lili Rasyidi dan I.B. Wyan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, P.T. Remaja Rosdakarya, Bandung 1999

Mahkamah Agung R.I., Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, 1993.

Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni Bandung, 2000.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, P.T. Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
_____, Hukum Pidana. Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
_____, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983.

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Erlangga, Jakarta, 1985.
_____, Hukum – Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980.

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional (Bagian Kesatu), Binacipta, Bandung, 1998.

Syed Hussain Alatas; Korupsi. Sifat, Sebab dan Fungsi (Corruption its Nature,
Causes and Functions) - diterjemahkan oleh Nirwono, LP-3ES, Jakarta,1987.

Stoen, I.F., Peradilan Socrates. Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena. (The Trial of Socrates) – diterjemahkan oleh Rahmah Asa Harun, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, cet. 6, 1989.
_____, Bunga Rampai Hukum. Karangan Tersebar, Ichtiar Baru, Jakarta, cet. 1, 1974.

(Penulis Lahir di Madiun, 12 Juni 1945. Riwayat pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Jurusan Kepidanaan Tahun 1970, Magíster Hukum UNPAD (Universitas Padjajaran) Bandung Tahun 2002, Kursus Regular Angkatan (KRA) XXVIII LEMHANNAS (Lembaga Ketahanan Nasional) tahun 1995.

Riwayat pekerjaan penulis : Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (1998-1999), Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (1999 - 2000), Staff Ahli Jaksa Agung R.I (2000 – 1 Juli 2005), dan Sejak tahun 2005 Pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (Jaksa) bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta, Konsultan/Staff Ahli Kantor PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), Anggota Tim Pakar Hukum Departemen Pertahanan.)


Read More...

Kajian Hukum Pidana Atas Masalah Piutang Negara

Dikirim/ditulis pada 13 December 2007 oleh Romli Atmasasmita

Pengantar

Masalah BUMN dan status hukum yang berkaitan dengannya telah diatur di dalam UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN. Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU tersebut telah ditetapkan pemerintah, antara Peraturan Pemerintah Nomor 43, 44 , dan 45 tahun 2005. Selain itu juga telah dikeluarkan PP Nomor 33 tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Undang-undang BUMN dan PP yang menyertainya merupakan regulasi di bidang jasa perbankan dan BUMN lainnya baik dalam bentuk perseroan atau perusahaan umum. Ditegaskan dalam UU BUMN tersebut perbedaan kedua bentuk BUMN tsb yang secara jelas memisahkan perusahaan yang bersifat pelayanan publik dan perseroan yang bersifat kegiatan usaha mencari keuntungan.

Di dalam UU BUMN tsb ditegaskan definisi BUMN yang secara tegas menyatakan bahwa, ” badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”. Namun demikian, definisi ini bukan definsi hukum karena tidak memenuhi asas lex scripta, lex stricta dan lex certa (Marjane.T, 2005) karena di dalam definisi tsb, kalimat ”harta kekayaan negara yang dipisahkan” merupakan pengertian tersendiri yang masih perlu diberikan batas lingkup pengertiannya.

Sebagai akibat tidak jelas secara yuridis pengertian istilah tsb maka penerapan hukum dalam praktik selalu menimbulkan persoalan sebagaimana terjadi sampai saat ini. 
Pro dan kontra penafsiran hukum atas karta kekayaan negara semakin tidak jelas karena tidak tercapai titik temu pendapat antara praktisi hukum khususnya pihak kejaksaan agung dan para ahli hukum perbankan dan keuangan.

Esensi dari perbedaan tafsir hukum tersebut juga disebabkan masing-masing pihak belum memahami sepenuhnya apa yang merupakan fungsi hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya di satu sisi serta hukum keuangan dan perbankan di sisi lain, di dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan sejahtera. Perbedaan tafsir hukum atas pengertian istilah ”harta kekayaan negara yang dipisahkan” di satu sisi dan pengertian istilah ”kerugian keuangan negara” di sisi lain bukanlah penyebab satu-satunya kemelut hukum ini akan tetapi juga disebabkan kurangnya pemahaman mengenai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam menciptakan iklim pertumbuhan ekonomi yang sehat dan kompetitif.

Selain itu, sejak dicanangkannya agenda pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda KIB, belum ada penegasan peranan dan fungsi lembaga-lembaga penegak hukum dalam turut serta menciptakan iklim ekonomi dan kompetitif dalam konteks menjalankan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penyebab lainnya adalah eforia pemberantasan korupsi sejak era reformasi telah menimbulkan penilaian berlebihan (overvalued) terhadap setiap kebijakan publik yang rentan terhadap perbuatan suap sehingga mendorong munculnya ”trial by the press” yang sering terbukti ”mengganggu” integritas dan profesionalisme aparatur penegak hukum dalam melihat kasus per kasus secara jernih dan objektif.

Makalah ini akan menguraikan pandangan hukum pidana terhadap masalah penyelesaian hukum yang melibatkan suatu BUMN terutama BUMN Pesero.

Harta kekayaan BUMN berdasarkan UU Nomor 19 tahun 2003


Status hukum harta kekayaan BUMN ditegaskan dalam UU tsb di atas telah ditegaskan merupakan harta kekayaan negara. Selain ketentuan Pasal 1 angka 1 UU tsb, kepemilikan Negara atas harta kekayaan BUMN tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 1 angka 10:”Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan /atau Perum serta perseroan terbatas lainnya”.

Penegasan mengenai harta kekayaan negara tsb di atas, merujuk juga kepada 3(tiga) undang-undang yang berkaitan dengan keuangan negara/daerah, yaitu, rujukan pertama Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,Pasal 2 huruf g yang menegaskan: ”kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”.

Rujukan kedua, merujuk kepada Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 1 angka 1 menegaskan, bahwa, ”Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan,yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”.

Rujukan ketiga adalah Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yang menegaskan pengertian ”Pengelolaan Keuangan Negara”, dan ”Tanggung Jawab Keuangan Negara”, serta penegasan BPK sebagai satu-satunya pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Sekalipun berbagai rujukan ketentuan dalam ketiga UU yang berkaitan dengan keuangan negara/daerah, namun dalam praktik penegakan hukum ketiga rujukan tersebut sering ditafsirkan secara normatif legalistik dan parsial oleh praktisi hukum termasuk penyidik dan penuntut umum, bahkan para hakim. Seandainya praktisi hukum tersebut mau membuka kembali bagian menimbang dari ketiga undang-undang tersebut di atas maka akan ditemukan apa yang merupakan semangat dan jiwa serta maksud dan tujuan diundangkannya ketiga undang-undang tersebut.

Salah satu bagian menimbang dalam UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN,huruf b, menegaskan bahwa BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Huruf c dalam bagian menimbang selanjutnya menegaskan bahwa, untuk mengoptimalkan peran BUMN,pengurusannya dan pengawasannya harus dilakukan secara profesional. Di dalam ketentuan UU Nomor 19 tahun 2003 secara jelas telah diatur ketentuan mengenai pengelolaan dan pengawasan atas BUMN. Selain keberadaan Komisaris, dalam UU tsb juga diatur secara khusus Satuan Pengawas Intern, Komite Audit dan Komite lain (lihat Bab VI) yang terdiri dari tiga pasal (Pasal 67 sd Pasal 70).

Selain itu, dalam UU BUMN juga ditegaskan peranan BPK selaku lembaga pemeriksa eksternal yang independen(Pasal 71). Jika dipahami seluruh ketentuan dalam UU BUMN tersebut di atas, jelas bahwa pembentuk undang-undang berusaha keras untuk menciptakan BUMN sebagai pelaku ekonomi yang kredibel, memiliki integritas dan profesional dalam mencapai tujuan pembentukannnya yaitu berperan aktif menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Jika diteliti lebih dalam, ketentuan dalam UU BUMN telah mempersiapkan 5(lima) kelembagaan yang melakukan fungsi pengawasan, yaitu, Dewan Komisaris; Satuan Pengawas Intern, Komite Audit, Komite Lain, selaku pemeriksa internal, dan terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan selaku pemeriksa eksternal. Keempat posisi kelembagaan pengawas internal dan satu posis lembaga pengawas internal tsb memegang posisi strategis. Seharusnya tidak perlu terjadi banyaknya kasus BUMN yang terlibat di dalam perkara tindak pidana korupsi, terlepas dari objektivitas penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik, jika kelima lembaga tsb di atas telah melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif.

Tampaknya masalah BUMN secara makro bukan hanya terletak pada pelaksanaan fungsi pengawasan semata-mata melainkan terletak pada cara pandang dan perbedaan tafsir di antara kelima lembaga pengawas satu sama lain , dan antara kelima lembaga pengawas tsb dengan pihak penyidik mengenai definsi dan lingkup keuangan negara, dan harta kekayaan negara yang dipisahkan dan dalam kaitan dengan unsur ”melawan hukum”, dan unsur ”kerugian keuangan negara” yang telah diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sejalan dengan rujukan ketentuan tersebut di atas, topik seminar hari ini juga berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagai berikut: kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang,surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Sedangkan pengertian kerugian keuangan negara menurut UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, ditafsirkan dari kalimat ”dapat” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tsb di atas.Tafsir hukum atas kalimat, ”dapat” dalam kedua pasal tsb, diartikan bahwa, suatu perbuatan termasuk tindak pidana korupsi, cukup dengan dipenuhinya unsur ”melawan hukum” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 tsb(delik formil);sekalipun perbuatan tsb tidak menimbulkan akibat nyata adanya kerugian keuangan negara.

untuk rujukan kedua undang-undang tsb di atas telah menimbulkan ketidak pastian hukum dalam pengelolaan keuangan dan tanggung jawab keuangan negara terutama di dalam aktivitas BUMN pesero.

Sudah tentu tafsir hukum seperti itu bersifat subjektif kecuali jika kemudian diperkuat oleh hasil audit BPK sesuai dengan Pasal 71 ayat (2) UU BUMN, dan ditemukan penyimpangan-penyimpangan atas kinerja dan pengelolaan keuangan oleh BUMN ybs. Bertitik tolak dari rujukan dua undang-undang tsb di atas maka baik tafsir hukum mengenai ”kerugian keuangan negara” baik berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara maupun berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hanya dapat diakui keabsahannya jika dilandaskan kepada hasil temuan adanya penyimpangan oleh BPK .

Dengan lain perkataan, penyidik seharusnya dapat menahan diri untuk tidak segara memasuki wilayah BUMN yang dikelola berdasarkan UU BUMN dan khususnya UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan untuk BUMN Pesero, kecuali setelah BPK menemukan penyimpangan atas pengelolaan keuangan suatu BUMN yang diduga kuat telah menimbulkan kerugian keuangan negara dan melaporkannya kepada Kejaksaan Agung. Dalam kaitan ini, peranan Kejaksaan Agung memang seharusnya bersifat pasif. Mengapa demikian? Uraian berikut ini akan menjelaskan dan menjawab pertanyaan tsb.

Peran Hukum Pidana dalam Pemberantasan Korupsi untuk tujuan Pemulihan Kerugian Keuangan Negara

Para Ahli hukum pidana konvensional telah lama berpendapat bahwa, hukum pidana memiliki fungsi, ”ultimum remedium” dalam kaitan dengan perbuatan-perbuatan tidak tergolong tindak pidana (kejahatan) murni seperti, kejahatan di bidang keuangan dan perbankan, kejahatan bidang perpajakan, kejahatan lingkungan, kejahatan yang berkaitan dengan penipuan dan perbuatan curang. Peran hukum pidana memiliki fungsi ”primum remedium” menghadapi perkembangan kejahatan transnasional terorganisasi yang telah diatur dalam Konvensi PBB Pemberantasan Kejahatan Transnasional Terorganisasi –Konvensi Palermo(2000).

Konvensi tersebut telah memasukkan kejahatan transnasional sebagai bentuk baru kejahatan abad 20 yang dipandang serius (korupsi, pencucian uang, perdagangan perempuan dan anak-anak, penyelundupan migran, dan penyelundupan senjata api) juga terorisme dan narkotika. Peran hukum pidana tersebut masih tetap tidak berubah terhadap kejahatan-kejahatan konvensional seperti kasus pembunuhan, perkosaan, dan makar.

Fungsi hukum pidana sejak awal telah ditetapkan harus dilandaskan kepada dua asas utama, yang merupakan ”fundamentalnormen des Rechstaat” (norma-norma dasar negara hukum), yaitu pertama asas proporsionalitas, dan kedua, asas subsidiaritas.[2] Asas proporsionalitas mengutamakan keseimbangan antara cara dan tujuan, dalam arti kita tidak perlu membakar sebuah rumah untuk menangkap seekor tikus, begitulah perumpamaan yang dikemukakan Remelink.

Dalam kaitan hukum pidana, asas ini merupakan landasan bekerja penegak hukum untuk selalu mempersoalkan seberapa jauh suatu penyimpangan perilaku diperlukan hukum pidana (baca, sanksi pidana!).Sedangkan asas subsidiaritas, merupakan petunjuk kepada penegak hukum dalam menemukan solusi dari suatu masalah hukum di mana dikehendaki agar dicari/digunakan cara yang paling sedikit menimbulkan risiko kerugian. Sebagai contoh, jika dihadapkan kepada suatu pelanggaran hukum berat, sepatutnya diupayakan cara penyelesaian konflik melalui hukum administrasi.[3]

Penulis menyetujui pendapat Remmelink karena pendapat ybs sejalan dengan fungsi hukum pidana sebagai ”ultimum remedium”. Hal ini dilandaskan kepada fakta bahwa sering terjadi penerapan hukum pidana (baca undang-undang pidana) dalam kenyataannya telah menimbulkan ”kerusakan hebat” dalam tatanan kehidupan masyarakat terutama yang sangat merugikan adalah tatanan kehidupan dan iklim keuangan dan perbankan.

Apalagi jika berpedoman kepada pendapat Bentham mengenai rumus yang disebutnya sebagai ”felcific calculus” yang secara ekonomi mempertimbangkan keseimbangan antara proses dan hasil penegakan hukum (pemberantasan korupsi) sudah tentu kita akan bertanya sejauh manakah efisiensi dan efektivitas telah dicapai setelah 62 tahun Indonesia merdeka? Alih-alih keberhasilan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dalam pemberantasan korupsi, terbukti negara telah mengalami defisit karena ada dugaan kuat penerimaan negara dari uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi sebanyak kurang lebih 6(enam) trilyun rupiah diragukan kebenarannya sesuai dengan pernyataan Ketua BPK baru-baru ini.

Sedangkan di sisi lain aspek penjeraan dalam pemberantasan korupsi tidak pernah surut bahkan semakin menjadi-jadi terjadi secara sistematis dan meluas ke seluruh sektor kehidupan bernegara. Bersamaan dengan tidak surutnya aspek penjeraan, kini tampak keragu-raguan dari para pimpinan proyek atau direksi bank (BUMN) untuk meningkatkan kinerja sekalipun dilandaskan kepada perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketidakpastian hukum dalam tafsir hukum mengenai, ”kerugian keuangan negara”, sesuai dengan prinsip hukum pidana, tidak boleh menimbulkan konflik penafsiran hukum yang akan menimbulkan kekosongan hukum dalam pemberlakuan hukum pidana. Dalam menghadapi konflik penafsiran hukum sedemikian maka doktrin hukum pidana menyediakan dua cara,

yaitu pertama, harus berpedoman kepada 2(dua) asas umum, yaitu, pertama, asas ”lex posteriori derogat lege priori”, yaitu, undang-undang yang dibentuk terakhir akan mengenyampingkan undang-undang yang dibentuk lebih dahulu yang bertentangan dengan –nya.

Kedua, asas, ”lex specialis derogat lege generali”, yaitu undang-undang yang bersifat khusus akan mengenyampingkan undang-undang yang berlaku umum[4]. Jika doktrin mengenai asas-asas umum di atas diterapkan dalam kasus BUMN tersebut di atas maka dengan asas umum pertama UU Keuangan Negara, dan UU BUMN (tahun 2003) dan UU Perbendaharaan Negara (2004) dapat mengenyampingkan berlakunya UU Pemberantasan Korupsi (tahun 1999/2001) sepanjang mengenai konflik penafsiran hukum tentang ”keuangan negara” dan ”kerugian keuangan negara”.

Begitupula halnya mengenai undang-undang manakah yang paling tepat diberlakukan sepanjang terdapat ketentuan pidana di dalam undang-undang khusus seperti UU Keuangan Negara, UU BUMN dan UU Perbendaharaan Negara terhadap kasus yang melibatkan BUMN sebagai subjek hukum?

Sudah tentu jawabannya sesuai dengan asas ”lex specialis systematic”; ketiga UU tsb di atas paling tepat didahulukan pemberlakuannya dibandingkan dengan UU Pemberantasan Korupsi. Hal ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 yang berbunyi: ”Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini”.

Penafsiran a contrario menjelaskan bahwa jika di dalam Undang-undang lain, selain UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak dinyatakan secara tegas bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam UU tsb bukan merupakan tindak pidana korupsi maka yang diberlakukan adalah undang-undang tsb bukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korups ini!. 


Menurut hemat penulis, ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 sesungguhnya mencerminkan asas lex specialis systematic dan sekaligus menjadi rambu-rambu pembatas pemberlakuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 agar tidak ditafsirkan secara luas sehingga merupakan ”pukat harimau” yang akan menjaring semua perbuatan sekalipun telah dipenuhi unsur ”melawan hukum” dan unsur ”kerugian keuangan negara”. Mengapa demikian? Ketentuan ini memberikan penegasan pemberlakuan telah dua asas umum sebagaimana diuraikan di atas(asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas).

Bahkan doktrin hukum pidana menegaskan bahwa, jika terdapat keragu-raguan tentang bukti-bukti yang mendukung fakta maupun dalam mempertimbangkan dapat atau tidak dapat diterimanya alasan-alasann yang meniadakan pidana, maka berlaku asas umum, ”in dubio pro reo” artinya, dalam keraguan maka harus dipilih ketentuan atau penjelasan yang paling menguntungkan terdakwa[5].

Doktrin hukum pidana mengenai pemberlakuan hukum pidana sejalan dengan asas-asas umum tersebut di atas (general principles) maka tidak boleh luput dari perhatian kita terutama penegak hukum, tentang filsafat hukum pidana itu sendiri. Dalam hal ini perlu memperhatikan perkembangan teori-teori yang menjelaskan justifikasi diperlukannya pidana (hukuman) terhadap perilaku terentu yang menyimpang dari seseorang dalam pergaulan masyarakat.

Teori aliran klasik yang dikenal sebagai Kantianism lebih mengutamakan pidana sebagai penjeraan terhadap para pelakunya, disusul kemudian dengan pendapat aliran modern dipelopori oleh Bentham, di mana tujuan pidana adalah sejauh mungkin dapat memberikan kemanfaatan (perlindungan) bagi masyarakat luas. Teori pidana abad 20 bertumpu kepada tujuan restorative atau dikenal dengan ”restorative justice” yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial antara pelaku (tersangka/terdakwa)dan korban(negara/pihak ketiga).

Dalam konteks pemberantasan korupsi abad ini, teori ini sejalan dengan prinsip Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 yang mengutamakan pemulihan kerugian keuangan negara tanpa pidana melainkan melalui ”civil recovery” , bukan semata-mata bersifat ”criminal forfeiture”.:

Kesimpulan dan saran-saran

Menelusuri seluruh uraian di atas maka kajian hukum pidana atas penyelesaian piutang negara (BUMN)dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:

Piutang BUMN adalah piutang negara sebatas harta kekayaan negara yang dipisahkan akan tetapi dalam penyelesaiannya tetap mengacu kepada Undang-undang BUMN itu sendiri dan UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan yang telah diubah dengan UU Nomor 40 tahun 2007.

Konlfik Pemberlakuan Perundang-undangan antara Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN dan UU Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan dan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001, harus diterapkan asas umum, ”lex posteriori derogat lege priori”, dan menerapkan juga asas umum lex specialis systematic dengan mengacu kepada bunyi Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999.

Konsekuensi penerapan asas-asas umum tersebut di atas maka penyidik harus dapat menahan diri untuk tidak memasuki wilayah BUMN sepanjang tidak ditemukan penyimpangan pengelolaan keuangan negara oleh BPK dan tidak terdapat dugaan kuat telah terjadi kerugian keuangan negara. Sekalipun telah terjadi kerugian keuangan negara pada BUMN tersebut maka kerugian keuangan negara tsb harus diselesaikan berdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Nomor 17 tahun 2003 juncto Bab XI tentang Penyelesaian Kerugian Negara/Daerah UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Untuk memperkuat cara penyelesaian secara sebagaimana disebutkan dalam angka 1 di atas maka perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 31 tahun 1999 terutama bagian uraian dalam penjelasan umum khusus berkaitan dengan definisi tentang keuangan negara(alinea keempat) disesuaikan dengan pengertian keuangan negara berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003.

[Penulis adalah Guru Besar Hukum Pidana Internasional UNPAD/Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UNPAD - Tulisan-tulisan penulis dapat dilihat di sini]

ENDNOTE:

[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD/KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNPAD

[2] J.Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia”; PT Gramedia, Jakarta, 2003; halaman 46.

[3] J.Remmelink, ibid.

[4] J.Remmelink, op cit halaman 46-47

[5] J.Remmelink, ibid halaman 47

Read More...

Harmonisasi Peran Aparat Penegak Hukum Dalam Memahami Peraturan Perundang-undangan Tentang Tindak Pidana Korupsi

Kamis, 03 Juli 2008

Dikirim/ditulis pada 7 July 2007 oleh Oleh: Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, SH.MH (staf pengajar hukum pidana FHUI)

Harmonisasi dalam pengertian yang sempit mempunyai makna usaha bersama untuk menyamakan pandangan, penilaian atau langkah tindakan guna dapat mencapai tujuan atau target bersama. Karena merupakan bentuk usaha bersama maka terdapat jamak pihak yang terlibat di dalam pencapaian tujuan atau target bersama tersebut. Mengapa harus diharmonisasikan? Tidak menutup kemungkinan berawal dari dua hal. Pertama, berawal dari keinginan sebelum melangkah maka pihak-pihak yang turut berperan untuk mencapai tujuan atau target bersama tersebut harus menyatukan pemahaman sebelum masing-masing mengambil langkah. Kedua, kemungkinannya berawal dari telah terjadi satu atau banyak perbedaan pemahaman untuk mencapai tujuan atau target bersama.

Kemungkinan yang kedua, kalau tidak secepatnya di harmoniskan akan berakibat menghambat dalam usaha pencapaian tujuan atau target bersama. Untuk keperluan tulisan ini, penulis fokuskan pada persoalan kemungkinan yang kedua yaitu harmonisasi peran aparat penegak hukum dalam ”pemberantasan” tindak pidana korupsi. Karena penulis menilai telah terjadi perbedaan yang sudah sangat besar dan mendasar terhadap persoalan yang berhubungan dengan usaha ”pemberantasan” tindak pidana korupsi yang selama ini telah dijalankan. Sehingga memberikan citra yang buruk terhadap upaya penegakan hukumnya.


Persoalan yang pertama terkait dengan penggunaan istilah ”pemberantasan” dalam penamaan undang-undang yang terkait dengan tindak pidana korupsi.


Politik kalau secara bebas dan mudah untuk diartikan, maka salah satu maknanya bisa jadi adalah pilihan cara atau jalan untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga kalau pengertian politik tersebut dikaitkan dengan persoalan hukum, sehingga muncul istilah politik hukum maka bisa jadi maknanya adalah pilihan cara atau jalan untuk mencapai tujuan hukum. Kalau kemudian diambil salah satu tujuan dari hukum - dari sekian banyak tujuan hukum - , yaitu hukum adalah sarana untuk mencapai keadilan, maka politik hukum dapat diartikan sebagai pilihan cara atau jalan untuk mencapai keadilan.


Sebagai pilihan cara atau jalan untuk mencapai keadilan, maka cara atau jalan itu sendiri secara umum terbagi dalam dua. Pertama, adalah cara atau jalan “bebas”, yang dimaksudkan tidak ada “patron” atau tidak ada pola pasti bagaimana cara atau jalan untuk mencapai keadilan prinsipnya adalah asalkan atau pokoknya tercapai keadilan itu. Kedua, adalah cara atau jalan yang “dibatasi” – tidak boleh tidak harus cara atau jalan itu – untuk mencapai keadilan. Atau mungkin ada cara atau jalan ketiga yaitu campuran “bebas” dan “dibatasi” (mari kita pikirkan bersama apakah cara atau jalan ini juga bernilai adil) akan tetapi bukan sesekali “bebas” dan lain kali “dibatasi” atau “plinplan” kata orang. Hukum diciptakan untuk membuat kepastian, sehingga suatu hal yang “haram” bagi dunia hukum untuk bergerak dalam keadaan abu-abu. atau hukum yang akan dipergunakan sebagai cara atau jalan untuk mencapai keadilan, maka dipersyaratkan hukum tersebut dibuat dan ditegakkan harus memuat nilai keadilan atau berkeadilan.


Jadi apakah cara “bebas” atau “dibatasi” untuk mencapai keadilan sebagai tujuan hukum, maka harus dilakukan dengan cara atau jalan keadilan. Kalau cara atau jalan dapat disamakan dengan proses, maka Mardjono Reksodiputro menamakan sebagai “proses hukum yang adil” sebagai terjemahan dari “due process of law” dan menjadi lawan dari “proses hukum yang sewenang-wenang” atau “arbitrary process”. Atau apabila mengambil pendapat dari Roeslan Saleh, cara atau jalan “bebas” dan “dibatasi” untuk mencapai keadilan sebagai “proses yang terjadi antara manusia dan manusia”, karena “mengadili (sebagai cara atau jalan untuk mencapai keadilan) sebagai pergulatan kemanusiaan”. Sudahkah haluan politik hukum pemberantasan korupsi sesuai dengan makna sesungguhnya dari politik hukum yaitu mencapai keadilan dengan cara atau jalan keadilan?.


Dengan memperhatikan pembangunan hukum yang berintikan pembuatan atau pembaruan dan penegakan terhadap materi-materi hukum yang berhubungan dengan pemberantasan korupsi dapat diketahui ke arah mana haluan telah atau akan ditempuh.


Perhatian pertama ditujukan terhadap nama dari undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi. Nama (tentang) mencerminkan apa yang menjadi materi muatan atau keinginan dari suatu produk hukum. Berbicara soal atur mengatur hal yang berhubungan dengan korupsi, maka sejak tahun 1957 perhatian pemerintah terhadap persoalan itu sudah ada yaitu melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Nomor 013 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 mempergunakan nama (tentang) Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Produk hukum yang tidak hanya mengatur hukum beracara (Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan) tetapi juga tindakan yang merupakan korupsi, tetapi diberi nama (tentang) hanya mewakili hukum acaranya, maka dapat dikatakan dari sudut penamaan undang-undang saja sudah tidak pas.


Pada 29 Maret 1971 guna menunjukkan bahwa pemerintahan baru ini juga turut memikirkan masalah korupsi, pemerintahan Soeharto mengundangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dimaksudkan sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Undang-undang tersebut diberi nama (tentang) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu nama (tentang) yang mungkin hanya terjiwai oleh semangat yang ada dalam produk hukum yang pernah dibuat oleh pemerintah Soekarno dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.


Tetapi penggunaan kata “pemberantasan” dalam undang-undang tersebut harus diartikan sebagai bagian dari politik hukum dalam hal ini adalah politik hukum pidana yang dimaksudkan untuk dicapai oleh undang-undang itu yakni “memberantas korupsi”. Makna “memberantas” identik dengan menghilangkan, jadi politik hukum pidana yang harus dicapai oleh pemerintahan Soeharto waktu itu dengan adanya undang-undang tersebut adalah hilangnya korupsi di bumi Indonesia!


Namun dengan mempergunakan pemikiran yang paling sederhana sekalipun tidak mungkin yang dinamakan dengan kejahatan dengan segala macam bentuknya hilang. Target tertinggi penegakan hukum pidana hanya sampai dengan pencegahan kejahatan dan itupun hanya sampai taraf “kalau bisa”. Dengan demikian dari sisi nama (tentang) dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 senyatanya hanya sekedar niat besar yang dari pemikiran yang paling sederhanapun tidak akan pernah tercapai yaitu untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada tanggal 16 Agustus 1999 oleh pemerintahan BJ Habibie diganti dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Undang-undang tersebut mungkin dimaksudkan dibuat untuk sekedar menunjukkan pada rakyat sikap tanggapnya pemerintahan “baru” ini terhadap persoalan korupsi. Karena menurut Transparency International, “Corruption Perception Index 1997-1996” Berlin, Germany 1997 digabung dengan “Corruption Perception Index 1998”, September 1998 membuat laporan tentang peringkat negara-negara dari sudut pandang praktek korupsi yang terjadi di negara tersebut.


Bahwa dari 85 negara yang dijadikan penelitian Indonesia menempati urutan 80 terkorup di dunia setelah Nigeria. Atau kalau berdasar dari Political and Economic Risk Consultancy, Ltd (PERC) sebuah perusahaan di bidang konsultasi yang bermarkas di Hongkong salah satu hasil kajiannya dalam penelitian peringkat korupsi di negara-negara Asia pada tahun 1997 menyatakan bahwa dari 12 negara di Asia maka dalam persoalan korupsi Indonesia ada di peringkat 12 dengan kata lain di Asia Indonesia adalah negara terkorup. Sekali lagi ternyata undang-undang ini menggunakan nama (tentang) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dapat dikatakan sama dengan undang-undang yang sebelumnya, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dari sisi nama (tentang) adalah “omong kosong”. Tidak pernah ada pemberantasan korupsi di negeri ini.


Bukti akan hal itu menjadi lebih jelas lagi apabila memperhatikan isi Bab VII Ketentuan Penutup Pasal 44 yang menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 295 dinyatakan tidak berlaku”. Maka mulai saat itu berlaku ketentuan “tindakan korupsi yang terjadi sebelum 16 Agustus 1999 tidak lagi sebagai tindak pidana. Karena telah kehilangan dasar hukum (legalitas) untuk menyatakannya sebagai tindak pidana”. Maka dapat dikatakan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan sebagai upaya menyelamatkan leher para tersangka pelaku tindak pidana korupsi sepanjang masa pemerintahan Soeharto dari jeratan hukum!


Pemerintahan Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001 “menambal” lubang besar yang ada dalam Undang-undang 31 Tahun 1999 dengan mengundangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas Undang-undang 31 Tahun 1999. Sebagian dari “tambalan” tersebut adalah Bab VIA Ketentuan Peralihan. Secara garis besar ketentuan peralihan menyatakan bahwa untuk tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum 16 Agustus 1999 diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.


Ternyata “tambalan” tersebut, masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi nafsu besar memberantas korupsi. Hal ini terbukti dengan persoalan penegakan hukum dikaburkan dengan persoalan realisasi kepentingan politik. Sehingga tidaklah salah pendapat yang menyatakan pengadilan tindak pidana korupsi yang terjadi sesungguhnya adalah mengadili pelaku politik dan kesalahan politiknya. Sehingga saat pidana dijatuhkan relevan dengan kesalahan dalam menjalankan politik yang telah terdakwa lakukan. Akibatnya masyarakat tidak dapat menerima, karena seharusnya pidana tersebut dijatuhkan untuk kesalahan yang telah dilakukannya terhadap rakyat karena merampas hak rakyat, uang rakyat dan hak hidup rakyat!


Penggunaan istilah ”memberantas”, di depan istilah tindak pidana korupsi dan tidak cukup dengan hanya mempergunakan istilah ”Tindak Pidana Korupsi” sebagai nama undang-undang, benar ataukah tidak benar tidak menutup kemungkinan menimbulkan tindakan-tindakan penyalahgunaannya. Penyalahgunaan tersebut menjadi sah karena terbungkus dengan rapi oleh produk hukum – asas legalitas – dan dibentengi dengan semangat bersama rakyat ikut dalam barisan anti korupsi.


Dengan mempergunakan isitilah ”memberantas” maka dapat dimaknai silahkan dengan cara apapun asal ada aturan tertulisnya untuk dapat dipergunakan memproses sampai dengan ”menghukum ” seseorang yang disangka telah melakukan korupsi. Misalkan terkait dengan persoalan dasar hukum untuk menyatakan seseorang korupsi dengan cara yang “melawan hukum” (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999).


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006


Mahkamah Konstitusi mengakui bahwa pemohon tidak terlampau mempersoalkan hal yang berhubungan dengan unsur “melawan hukum” . Hal tersebut tercermin dari kalimat “… meskipun pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut (lihat halaman 73 alinea ke 3).


Menarik dari apa yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa dengan adanya penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) kalimat bagian pertama tersebut berbunyi, “ yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peratutran perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana”.


Pendapat Mahkamah Konstitusi tetang penjelasan Pasal 2 ayat (1) adalah:


Pertama, “Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur “melawan hukum”, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.


Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad), seolah-olah telah diterima menjadi suatu ukuran melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain akan mengakibatkan bahwa apa yang di satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum.”

Kedua, Menimbang bahwa berkaitan dengan pertimbangan diatas, maka Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 telah pula menguraikan bahwa sesuai dengan kebiasan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan yang baik, yang diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.

Akibat hukum terhadap tindakan penegakan hukum pelaku tindak pidana korupsi


Sebelum membahas apa yang menjadi akibat hukum dari putusan MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 003/PUU-IV/2006 terhadap tindakan penegakan hukum pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu rasanya sedikit memberikan komentar hal yang menjadi pendapat MK yang menyatakan bahwa “Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur “melawan hukum”, melainkan telah melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.


Menjadi pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah memang telah muncul adanya norma baru apabila memberikan penjelasan terhadap unsur “melawan hukum” yang meliputi melawan hukum formil dan materiil?. Bahkan kemudian dikatakan dengan mempergunakan melawan hukum materiil di dalam istilah melawan hukum identik dengan “…memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana”. Bukankah selama ini apabila mengartikan unsur melawan hukum berarti adalah formil dan materiil, sebab yang dipergunakan adalah “hukum” dan bukan “undang-undang”


Suatu hal yang berbeda apabila memperbandingkannya dengan isi pasal 1 ayat 1 KUHP


Pasal 1


1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.


Walaupun secara tegas KUHP mempergunakan perundang-undangan yang kemudian dimaksudkan adalah aturan yang tertulis, namun di dalam perumusan beberapa pasal-pasalnya mempergunakan istilah “melawan hukum” sebagai unsur pasal bukan “melawan undang-undang”.


Hal tersebut diterima karena disadari benar bahwa tidak semua atau belum semua tindakan yang dinilai sebagai tindakan yang merugikan masyarakat – sifat hukum pidana sebagai hukum publik – telah tertampung semua oleh produk hukum yang tertulis.


Dari hal tersebut di atas salah satu hal yang paling berat yang akan ditanggung oleh aparat penegak hukum – tidak termasuk dalam hal ini hakim Mahkamah Konstitusional – akan mendapatkan hujatan dari masyarakat apabila suatu saat nanti menangani kasus korupsi yang identik dengan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara atas dasar penilaian masyarakat adalah tidak patut, tidak pantas untuk dilakukan ternyata tidak dapat dijatuhi sanksi.


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Memperhatikan isi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kekayaan negara yang sudah dipisahkan—disebut kekayaan terpisah—itu tunduk pada Undang-undang Perseroan Terbatas (ranah hukum perdata). Sehingga penempatan atau penyertaan keuangan negara di dalam suatu perum, persero, atau lainnya, sudah menjadi kekayaan terpisah. Sehingga ranahnya adalah perdata.


Namun apabila memperhatikan pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan yang terpisah maupun tidak terpisah itu tetap masuk dalam pengertian keuangan negara (ranah hukum pidana). Sehingga dari dua produk hukum yang paling menentukan untuk menyatakan seseorang korupsi ataukah tidak terkait dengan keuangan negara telah terjadi saling bertentangan dalam mendefinisikan keuangan negara.


Sebagai seorang pencari dan pengumpul bukti atau penuntut sepanjang dapat menguatkan pelaksanaan pekerjaannya pasti akan memilih dan mempergunakan PP 21 Tahun 2007 atau Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk menyeret seseorang ke pengadilan. Namun apabila ia adalah sebagai bagian dari aparat penegak hukum, tidak akan melakukan hal tersebut, karena memang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang ada.


PP Nomor 37 Tahun 2006


Saat sekarang sedang santer dan seru perbincangan terkait dengan produk hukum PP Nomor 37 Tahun 2006. PP tersebut kemudian telah diubah dengan PP Nomor 21 Tahun 2007 yang lebih dikenal dengan persoalan ”rapelan” bagi anggota DPRD. Bukankah di dalam isi Pasal 1 KUHP.


BAB I


Batas-Batas Berlakunya Aturan Pidana Dalam Perundang-Undangan

Pasal 1


(1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada


(2) Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.

Salahkah kalau terdapat anggota DPRD yang mengambil haknya yang diberikan oleh negara dengan adanya dasar hukum PP 37 tahun 2006? Menurut pendapat saya adalah tidak karena anggota DPRD tersebut dalam melakukan tindakan telah ada dasar hukumnya – asas legalitas – PP Nomor 37 tahun 2006. Apakah anggota DPRD tersebut akan dikatakan sebagai seorang koruptor apabila ia mengambil dan tidak mengembalikan uang yang telah ia ambil karena adanya PP Nomor 21 Tahun 2007 yang memerintahkan bagi anggota DPRD yang telah mengambil untuk mengembalikan dan kalau tidak mengembalikan akan dikenakan ketentuan mengenai korupsi? Menurut pendapat saya adalah tidak, karena prinsip dalam hukum pidana apabila ada perubahan perundang-undangan dikenakan aturan yang menguntungkan. Sehingga yang berlaku bukan PP 21 Tahun 2007 tetapi adalah PP 37 Tahun 2006.


(Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada matakuliah: hukum pidana, hukum acara pidana, aspek hukum pidana dan hukum lainnya dalam media massa, kependudukan dan kesehatan, kapita selekta hukum pidana. Pengajar matakuliah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan , Karawaci, Tangerang, Jawa Barat. Pengajar matakuliah Perbandingan Hukum Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta. Pengajar matakuliah Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta. Pengajar matakuliah HAM dan Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta. Pengajar matakuliah Hukum dan HAM dan Sistem Peradilan Pidana pada Program Pascasarjana Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Kekhususan Kajian Strategis Kebijakan & Manajemen Lembaga Pemasyarakatan dan Penegakan HAM Universitas Indonesia Jakarta.)

Read More...