Pemahaman Keuangan Negara

Rabu, 16 Juli 2008

Kontribusi Dari Soepomo, SH, LLM

Rabu, 22 Agustus 2007

Sebagai gambaran atas kerugian yang ditanggung oleh negara, disebutkan bahwa jumlah uang ganti rugi per 31Desember 2006 yang didasarkan putusan pengadilan dan penetapan BPK mencapai Rp.8,198 trilyun dan USD376 juta dan pihak yang harus membayar ganti rugi itu adalah bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, serta pihak ke tiga yang tersebar di berbagai instansi pemerintah pusat, daerah dan BUMN.

Pemahaman Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi

A. PENDAHULUAN

Harapan dapat memberantas korupsi secara hukum adalah mengandalkan diperlakukannya secara konsisten undang-undang tentang pemberantasan korupsi disamping ketentuan terkait yang bersifat preventif. Fokus pemberantasan korupsi juga harus menempatkan kerugian negara sebagai suatu bentuk pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi secara luas.

Read More...

Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan Dalam Implementasinya

(Suatu Tinjauan Awal)
Dikirim/ditulis pada 28 August 2007 Oleh: Yenti Garnasih

ARTIKEL HUKUM PIDANA

1. Pendahuluan.

Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan.

Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF.

  • Baldwin Jr, Fletcher N, Money Laundering and Wire Transfer: When The New Regulation Take Effect. Will They Help?, Dick.J. Int’l. L. vol.14, 1996.
  • Barbot, Lisa A, Comment, Money Laundering: An International Challenge”,Tul.J.Int’l & Comp.L.,vol.3,1995.
  • Bhala, Raj, The Interveted Pyramid of Wire Transfer Law, Ky.L.J.82, 1993.
  • Biagio, Thomas M, Money Laundering and Trafficking: A Question of Understanding The Element of The Crime and The Use of Circumstacial Evidence, Univ.of Richmond Law.Rev, Vol.28:255.1994.
  • Chaikin, David A, Money Laundering: An Investigatory Perspective, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991.
  • De Feo, Michael A, Depriving International Narcotics Traffickers and other Organize Criminals of Illegal Proceed and Combating Money Laundering, Den.J. Int’l L & Pol’y, vol. 18:3, 1990.
  • Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2003.
  • Harmon Jr, James D, Money Laundering Legislation: Hearing of The Senat Comm. On The Judiciary, 99th Cong. Vol.84, 1985.
  • Haynes, Andrew, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993.
  • Kaufmann, Max, Adam Lewis, Bruce Muller, Money Laundering, Am .Crim.L.Rev. vol. 34, 1994.
  • Levi, Michael, Incriminating Disclosures: An Evaluation of Money Laundering in England and Wales”, Eur J.Cr.L &Crim.J , 1995.
  • Mulligan, Daniel, KYC Regulation and The International Banking System: Towards a General Self Regulatory Regime, Ford. Int.L.J., vol.22,23,24. 1999.
  • Samuel, Margaret, “No Cash Alternatives and Money Laundering XE “Money Laundering” : An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992.
  • Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000.
  • The Information Technologies for Control of Money Laundering, U.S. Department of Justice Criminal Div. Office. 1998.
  • United Nations, Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in The Context of Development and A New Economic Order, Milan, 1985.
  • United Nations, Convention Againts Transnational Organized Crime, Palermo, 2000.
  • Zeldin, Michael, Money Laundering : Every You Wanted To Know About Money Laundering But Were Afraid to Asked, in Focus on Money Laundering & Asset Forfeiture, An Int’l Persp., vol 2,1995.

Read More...

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik

Dikirim/ditulis pada 9 December 2007 oleh Romli Atmasasmita

ARTIKEL HUKUM PIDANA

Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) [2] berdasarkan sistem hukum Common Law ( sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).

  1. hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan;
  2. hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum ybs;
  3. hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;
  4. hak untuk diadili yang dihadiri oleh ybs;
  5. hak untuk didampingi penasehat hukum jika ybs tidak mampu;
  6. hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan ybs;
  7. hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh ybs;
  8. hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tsb, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum.

Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.

Perkembangan tafsir Asas Praduga Tak Bersalah (APTB) dalam sistem Hukum Acara Belanda dan Perancis.

Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000,tertanggal 31 Mei) ternyata lebih maju(progresif) dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981).

HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.Pasal 1. butir II, HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”.[7] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis, menegaskan: ”Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tsb, sebagaimana disebutkan:

“Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansiil memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi(Braithwaite, 1989).[8]

Berkaitan dengan pemaknaan tsb, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.

Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tsb menganut paradigma (individualistik)[9] perlindungan atas hak dan kepentingan pelaku kejahatan (offender-based protection), dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan ybs (korban ).[10]

Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tsb tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum tsb di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.

Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi mansia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitupula, di dalam Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ”due process of law”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggeris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip tsb mengandung sifat ’contradictio in terminis” karena selain mengandung prinsip ”fair and impartial trial” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ”unfair dan partial trial” terhadap pihak korban kejahatan.

Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.

Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah

Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia, tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak indvidu.

Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran, asas praduga tak bersalah, dan prinsip ”due process of law” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tsb, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht”[11] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang yang sejalan dengan perubahan paradigma tsb di atas, adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.

Praduga tsb selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan, dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan mereka untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel.

Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.

Rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah disarankan di atas masuk akal, proporsional, dan sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif (Aristoteles) [12]serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini.

Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan,selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 (Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. Dengan UU tsb sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain.[13]

Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan tsb, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius di dakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6(enam) tahun.

Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan ybs atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tsb kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya.[14]

Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang diirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan.

Undang-undang tentang Perlindungan Saksi Pelapor dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.



[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran Bandung - Tulisan-tulisan Penulis dapat dilihat di sini]



ENDNOTE:

[1] GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD

[2] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].

[3] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81

[4] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30

[5] ibid

[6] Caherine Elliot, “French Criminal Law”; Wilan Publishing Coy; 2003; page………..

[7] Catherine Elliot, op cit.; p.11-12

[8] Braithwaite,di dalam karyanya, ” Shame and Integration Process”

[9] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan

[10] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.

[11] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003; Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.

[12] Aristoteles membedakan beberapa jenis keadilan: keadilan retributive, distributive, komutatif, dan rehabilitatif. Keadilan distributif dan komutatif berbeda secara substansial dengan keadilan retributif yang masih bertumpu pada ajaran kantianisme. Keadilan distributif dan komutatif merupakan bentuk keadilan yang memberikan toleransi kepada pertimbangan kemanusiaan dengan menekankan kepad a kewajiban seseorang untuk mereparasi (memperbaiki) kesalahan yang telah dilakukannya dengan memberikan sejumlah ganti kerugian kepada pihak korban. Konsep keadilan mutakhir terutama setelah munculnya pendekaran perlindungan HAM, adalah keadilan restoratif, yaitu menitikberatkan kepada ”pemulihan keseimbangan hubungan antara pelaku dan korban dalam satu kesatuan kehidupan kemasuyarakatan”. Prinsip keadilan restoratif , mirip dengan prinsip keadilan komutatif.

[13] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgevers; 2003;p.21

[14] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.


Read More...