Kontribusi Dari Soepomo, SH, LLM
Rabu, 22 Agustus 2007
Sebagai gambaran atas kerugian yang ditanggung oleh negara, disebutkan bahwa jumlah uang ganti rugi per 31Desember 2006 yang didasarkan putusan pengadilan dan penetapan BPK mencapai Rp.8,198 trilyun dan USD376 juta dan pihak yang harus membayar ganti rugi itu adalah bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, serta pihak ke tiga yang tersebar di berbagai instansi pemerintah pusat, daerah dan BUMN.
A. PENDAHULUAN
Harapan dapat memberantas korupsi secara hukum adalah mengandalkan diperlakukannya secara konsisten undang-undang tentang pemberantasan korupsi disamping ketentuan terkait yang bersifat preventif. Fokus pemberantasan korupsi juga harus menempatkan kerugian negara sebagai suatu bentuk pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi secara luas.
Pemikiran dasar mencegah timbulnya kerugian keuangan negara telah dengan sendirinya mendorong agar baik dengan cara pidana atau cara perdata, mengusahakan kembalinya secara maksimal dan cepat seluruh kerugian negara yag ditimbulkan olek praktek korupsi. Pemikiran dasar tersebut telah memberi isi serta makna pasal pasal dalam UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Adanya kerugian negara atau perekonomian negara menjadi unsur utama dari delik korupsi.
Dengan demikian undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi tidak semata sebagai alat penegak hukum, tetapi juga penegak keadilan sosial dan ekonomi. Hal in berarti bukan semata memberi hukuman bagi mereka yang terbukti bersalah dengan hukuman yang seberat-beratnya, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatannya dapat kembali semua dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sebagai gambaran atas kerugian yang ditanggung oleh negara, disebutkan bahwa jumlah uang ganti rugi per 31 Desember 2006 yang didasarkan putusan pengadilan dan penetapan BPK mencapai Rp.8,198 trilyun dan USD376 juta dan pihak yang harus membayar ganti rugi itu adalah bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, serta pihak ke tiga yang tersebar di berbagai instansi pemerintah pusah, daerah dan BUMN.
Untuk kriteria bendahara instansi pemerintah terdapat 378 kasus di lingkungan pemerintah pusat, daerah dan BUMN dan total ganti kerugian adalah RP.137,5 miliar dan USD 960.100 dan telah diselesaikan sebanyak 96 kasus senilai Rp 873,8 juta. Sedangkan kriteria pegawai negeri yang bukan bendahara terdapat 3.306 kasus senilai RP.395,5 miliar dan USD 4,1 juta dan telah selesai Rp.5,4 miliar.
Untuk kriteria pihak ketiga terdapat 2.092 kasus senilai Rp.9,498 triliun dan USD 371 juta.
Gambaran kasus diatas memberikan bukti bahwa potensi kerugian yang ditanggung negara cukup besar dan sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan penyelenggaran negara guna mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
B. KEUANGAN NEGARA
1. DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG KEUANGAN NEGARA
Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara.
Disamping itu dalam diktum menimbang undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pengertian keuangan negara dalam perspektif Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1) yaitu: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut;
Dengan demikian pengertian keuangan negara diatas meliputi hal-hal sebagai berikut:
· hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
· kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
· Penerimaan negara;
· Pengeluaran negara;
· Penerimaan daerah;
· Pengeluaran daerah;
· Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan negara;
· Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaran tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum;
· Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 ini adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebagaimana tersebut daitas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang-undang dasar.
Sesuai dengan amanat pasal 23 C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam undang undang dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
· akuntabilitas berorientasi hasil,
· profesionalitas,
· proporsionalitas,
· keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara,
· pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri,
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulai tanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun tujuan yang diemban dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.
Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Istilah keuangan negara dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi: (ayat 1) ; Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
dan pasal 3 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Dalam ayat di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian negara.
Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum undang-undang tindak pidana korupsi yaitu keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah, berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara.
Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum undang-undang no 31 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana korupsi adalah:
- setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa undang-undang ini bermaksud mengantisipasi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan rumit.
Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dirumuskan seluas-luasnya sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum.
Dalam rumusan diatas pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Sedangkan yang dimaksud dengan merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.
3. DALAM PERSPEKTIF ARIFIN P. SOERIA ATMADJA.
Perkembangan hukum Indonesia ditandai oleh semakin meningkatnya perkara pidana khususnya pidana korupsi, yang diajukan ke pengadilan atas dasar adanya kerugian negara. Adanya perkembangan dalam penanganan dalam penanganan perkara pidana korupsi tidak terlepas pengetahuan pihak penuntut umum yang mendorong terciptanya suatu simpulan perbuatan seseorang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dalam lapangan hukum apapun, baik publik maupun privat pasti mengandung dugaan adanya kerugian negara.
Kelemahan penuntut umum terlihal dalam menilai posisi hukum kerugian keuangan negara dan aspek hukum privat, di mana penuntut umum belum mampu menilai dari segi hukum ada atau tidaknya aspek kerugian keuangan negara dalam lapangan hukum privat yang menjadi dasar hukum pembuktian, dan yang berkaitan pula dengan penafsiran terhadap penilaian fakta adanya kerugian keuangan negara dalam badan hukum privat (PERSERO).
Dengan demikian dibutuhkan kajian bagaimana dapat dikatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara pada sebuah PERSERO sebagai badan hukum privat yang pada gilirannya menentukan pula ada atau tidaknya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999.
Pengaturan demikian sangat penting mengingat dalam hukum pidana dikenal adanya asas legalitas yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi warganegara dari perlakuan negara serta menjadi pembatas wewenang negara dalam menjalankan kekuasannya.
Ada pertimbangan penting yang harus diperhatikan pada aspek hukum kerugian negara dalam perseroan terbatas (PERSERO) ini, yaitu menyangkut kedudukan dan status hukum dari keuangan negara dalam perseroan terbatas tersebut. Apabila dikaitkan dengan definisi keuangan negara satu hal pertama yang perlu dipahami dan dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan keuangan negara tersebut.
Keterkaitan definsi keuangan negara dalam mengetahui aspek hukum kerugian Negara disebabkan definisi tersebut pada hakikatnya secara langsung membantu membatasi ruang lingkup keuangan negara.
Definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 45 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara yaitu,
penafsiran pertama adalah : Pengertian keuangan Negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN sebagai sub sistem keuangan negara dalam arti sempit.
Jika didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan Negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.
Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan metode dan sistematik dan historis yang menyatakan: Keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara.
Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara.
Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak melakukan pungutan; hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.
Penafsiran ketiga dilakukan melalui pendekatan sistematik dan teleologis atas sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya.
Maksudnya adalah, Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan, dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit……
Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN , APBD , BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan Negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.
Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran demikan akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandaling) maupun yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling).
Berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban, perbedaan yang mendasar akan muncul saat investasi dengan segala resiko yang ditawarkan oleh pemerintah dalam tiga jenis badan usaha yang ada.
Bagi investasi yang ditanamkan pemerintah pada perusahaan jawatan (PERJAN) pengelolaan dan pertanggungjawabannya berpedoman pada Indische Bedrijeventswet (IBW).
Sementara itu, pada perusahaan umum (PERUM) berpedoman pada UU Nomor 19 Prp Tahun 1960 dan perseroan terbatas dengan (PERSERO) pada UU Nomor 1 Tahun 1995 dan akta pendirian. Dengan pembedaan ini dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam aspek investasi yang ditanamkan pemerintah dan fungsi pelayanan publiknya terhadap ketiga jenis badan usaha tersebut berbeda.
Pada perjan dan perum, kedudukan keuangan negara didalamnya adalah kekayaan negara yang tidak dipisahkan. Hal demikian berbeda halnya dengan perseroan terbatas yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemisahan kekayaan negara ini mengandung makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk dijadikan model penyertaan guna dijadikan modal pendirian perseroan atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
Konsekuensi logis adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan terbatas adalah pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat berposisi sebagai badan hukum publik.
Hal demikian disebabkan tugas pemerintah sebagai badan hukum publik adalah bestuurszorg, yaitu tugas yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan dan suatu konsep negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan seluruh rakyat.
Konsekuensinya jika badan hukum publik harus menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha tersebut, fungsi tersebut tidak dapat akan optimal dan maksimal dijalankan oleh pemerintah.
Dengan dasar pemahaman tersebut, kedudukan pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili pemerintah sebagai badan hukum publik. Pemahaman tersebut harus ditegaskan sebagai bentuk affirmatif pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas, yang sahamnya antara lain dimiliki pemerintah.
Dengan mengemukakan dasar logika hukum atas aspek kerugian negara dalam perseroan terbatas, yang seluruh atas salah satu sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi.
Hal ini disebabkan ketika pemerintah sebagai badan hukum privat memutuskan penyertaan modalnya berbentuk saham dalam perseroan terbatas maka pada saat itu juga imunitas publik dan negaera hilang dan terputus hubungan hukumnya dengan keuangan yang telah berubah dalam bentuk saham, demikian pula ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk saham tersebut otomati berlaku dan berpedoman pada UU Nomor 1 Tahun 195.
Kondisi demikan mengakibatkan putusnya keuangan yang ditanamkan dalam perseroan terbatas sebagai keuangan negara, sehingga berubah status hukumnya menjadi keuangan perseroan terbatas.
Dengan dasar pemahaman tersebut, dapatlah dikemukakan sesungguhnya menetapkan suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang merugikan negara tidak hanya dapat disandarkan pada hakikat mengikuti rumusan perbuatan formalnya, yaitu dengan, melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan.
Akan tetapi yang lebih penting pada rumusan materiilnya, yaitu merugikan negara. Aspek kerugian negara inilah yang selalu kemudian diindentikan dengan keuangan negara.
Mungkin perbuatan tindak pidana korupsi seseorang dalam perseroan terbatas (PERSERO) yang sahamnya antara lain dimiliki negara berarti secara formal melawan hukum dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Akan tetapi, perbuatan tersebut secara materiil tidak merugikan keuangan negara, karena posisi dan status hukum keuangan negara dalam perseroan terbatas bukan lagi merupakan keuangan negara, melainkan keuangan milik perseroan (PERSERO) tersebut, dimana sebagai pemilik saham mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan pemilik saham swasta lainnya.
C. ASPEK KERUGIAN NEGARA
Terhadap terpidana perkara korupsi selain pidana badan (penjara) dan/atau denda, juga dijatuhi pidana tambahan antara lain pembayaran uang pengganti yang besarnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi. Dalam praktik hampir tidak ada terpidana yang membayar uang pengganti dengan berbagai dalih, misalnya tidak punya lagi uang atau aset.
Sikap terpidana yang tidak mau atau tidak mampu membayar uang pengganti itu sebenarnya sudah bisa diketahui oleh penyidik dan penuntut umum sejak sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Menghadapi terpidana seperti ini, seyogyanya penuntut umum menuntut hukuman badan (penjara) maksimum sebagaimana ditetapkan undangundang.
Akibat dari terjadinya tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Kerugian tersebut sudah harus diibebankan kepada terpidana setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Lebih lanjut dalam pasal Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari Tindak Pidana Korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Ketentuan tersebut dengan jelas memberikan sebuah kemungkinan untuk terciptanya keadilan atas perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Penjelasan pasal di atas lebih tegas menyebutkan bahwa Dasar pemikiran ketentuan dalam pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, baik putusan tersbut didasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi atau setelah berlakunya undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugutan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya terkait pengembalian kerugian negara, tindak pidana korupsi dalam undang-undang TP Korupsi merumuskan secara tegas tindak pidana formil. Dengan rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap dipidana sesuai pasal 4 UU TP Korupsi yang berbunyi sebagai berikut:
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
Penjelasan pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara yang telah dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian Negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk pengembalian kerugian negara telah diatur, terutama pada pasal 18 yaitu:
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka di pidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian kerugian yang diderita negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah diamanatkan pasal 278 KUHP.
Undang-undang korupsi yaitu UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk memulihkan kerugian negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana dan perdata. Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam kedua undang-undang itu, sedang untuk instrument perdata menggunakan ketentuan biasa atau umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan acaranya.
Kekhususan bagi instrumen pidana tersebut antara lain, bahwa dalam sidang pengadilan:
· Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya, harta istrinya (suaminya, harta anaknya, dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan korupsi yang didakwakan kepadanya).
· Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh dari perbuatan korupsi (illicit enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.
· Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim dijatuhkan dan terdapat bukti kuat bahwa terdakwa melakukan perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat dirampas oleh hakim.
Penggunaan instrumen perdata hampir tidak ada manfaatnya, karena undang-undang korupsi tidak memberikan kekhususan. Upaya pengembalian kerugian negara dilakukan melalui proses perdata biasa, artinya gugatan perdata terhadap koruptor (tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya) harus menempuh proses beracara biasa yang penuh formalitas.
Dengan demikian dapat diperkirakan, bahwa untuk sampai pada putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap bisa memakan waktu bertahun-tahun dan belum tentu menang. Undang-undang mewajibkan pemeriksaan perkara pidana korupsi diberikan prioritas, sedang gugatan perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi tidak wajib diprioritaskan.
Di samping itu koruptor (tergugat) bisa menggugat balik dan kemungkinan malah dia yang menang dan justru pemerintah yang harus membayar tuntutan koruptor.
D. KERUGIAN NEGARA DALAM KERJASAMA INTERNASIONAL DI BIDANG ASSET RECOVERY
Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntablitias dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional.
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen pemerintahan yang baik dan kerjasama internasional, termasuk pengembalian aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.
Selama ini pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan khusus yang berlaku sejak tahun 1957 dan telah dibuah sebanyak 5 kali , akan tetapi peraturan perundangan dimaksud belum memadai, antara lain karena belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi
Pemerintah RI pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah ikut menandatangani Konvensi PBB tentang Anti Korupsi yang oleh sidang ke 58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003
Ratifikasi konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi konvensi tersbut adalah:
· Untuk meningkatkan kerjasama internasional khusunya dalam melacak, membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidanan korupsi yang ditempatkan diluar negeri
· Meningkatkan kerja sama internasionan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
· Meningkatkan kerjasama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana dan kerjasama penegakan hukum
· Mendorong terjalinnya kerjasama teknik dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerjasama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral regional dan multilateral
· Harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidanan korupsi sesuai konvensi ini
Lingkup konvensi terdiri dari 8 bab dan 71 pasal. Terkait dengan pengembalian aset ada dalam bab V yaitu pengembalian aset yang memuat pencegahan dan deteksi transfer hasil-hasil kejahatan, tindakantindakan untuk pengembalian langsung atas kekayaan, mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam perampasan, kerjasama internasional untuk tujuan perampasan, kerjasama khusus, pengembalian dan penyerahan aset, unit intelejen keuangan, perjanjian-perjanjian dan pengaturan-pengaturan bilateral dan multilateral.
Dalam undang-undang no 1 Tahun 2006 tentang Mutual Legal Assistance telah diatur pula usaha-usaha pengembalian aset sebagai bentuk pengembalian kerugian negara yaitu dalam pasal 57 yang berbunyi:
Menteri dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapatkan penggantian biaya dan bagi hasil dari hasil harta kekeayaan yang dirampas:
a. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; atau
b. di Indonesia, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan putusan perampasan atas permintaan negara asing.
E. PENUTUP
Ketentuan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
· berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah
· berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara
· Kedua pengertian keuangan negara dalam dua undang-undang yang berbeda pada hakekatnya adalah sama dan tidak bertentangan satu sama lain.
Pengertian ini sudah jelas dan tidak terlalu sulit unutk membuktikan adanya unsur yang merugikan keuangan negara. Berbeda dengan hal ini, perekonomian negara memiliki arti yang masih kabur sehingga sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud unsur perekonomian negara dibandingkan dengan unsur keuangan negara seperti yang disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Diperlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga.
Perlu juga dilakukan pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik dan badan hukum perdata.
Aspek kerugian negara telah diatur lebih tegas terutama dalam Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan pasal 18 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disamping aturan pasal 278 KUHP.
Referensi:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang tentang Perbendaharaan Negara
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang tentang Keuangan Negara.
3. Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
6. Pengembalian Kerugian Negara Sangat Rendah, BPK RI, 27 April 2007, Jakarta
7. Satjipto Raharjo, Pengantar Ilmu Hukum, 2000, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung .
8. R. Wiyono , SH, Pembahsan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 2006, PTSinar Grafika, Jakarta.
9. Eddy Suhartono, SH, SpN, Perihal Ketentuan-Ketentuan Tindak Pidana Korupsi, Buletin Pengawasan No 28 dan 29, 2001, Jakarta
10. Arifin P Soeria Atmadja, Permasalahan Piutang Negara dan Aspek Hukum Kerugian Negara pada Perseroan Terbatas yang sahamnya antara Lain di Miliki oleh Pemerintah, Jurnal/Makalah , Jakarta
http://www.djkn.depkeu.go.id/