Penegakan Keadilan di Pengadilan
Selasa, 23 Desember 2008Moh Mahfud MD
Masyarakat yang awam hukum perlu memahami soal hukum yang sederhana ini.
Hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia.
Penegak atau tunduk
Sebenarnya perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi.
Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu diletakkan pada posisi sama kuat. Pasal 24 Ayat 1 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”. Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”. Jadi. tekanannya bukan pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.
Saat konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945 karena di masa lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan dengan dalil yang ada dalam undang-undang; Padahal saat itu, banyak undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan positivistik-instrumentalistik atau sebagai alat membenarkan kehendak penguasa.
Itu sebabnya, saat melakukan amandemen UUD 1945 dengan amat sadar kita menegaskan prinsip penegakan keadilan ke dalam konstitusi dalam proses peradilan. Para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).
Bagi Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, keharusan mencari keadilan substansial ini selain dibenarkan UUD 1945 juga dimuat dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45 Ayat 1 berbunyi, ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar Undang UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.”
Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang beperkara jelas-jelas meminta ex aequo et bono (putusan adil).
Keluar undang-undang
Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bukan ”Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski—jika terpaksa— melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.
Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis.
Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang.
Yang ingin ditekankan di sini hanyalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari udang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu tempat mencari dan menegakkan keadilan?
MOH MAHFUD MD Guru besar Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum UII Yogyakarta
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/22/00320827/penegakan.keadilan.di.pengadilan
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.33 1 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
Memahami Kasus L/C Bank BNI dari Aspek Teknis Perbankan
Selasa, 22 Juli 2008Sutan Remy Sjahdeini
KASUS manipulasi surat kredit (letter of credit) yang terjadi di PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk makin banyak diberitakan di berbagai media cetak dan elektronik. Pemberitaan yang makin meluas tersebut bukannya makin membuat kejelasan bagi masyarakat mengenai apa yang sebenarnya terjadi, tetapi makin membingungkan. Banyak pertanyaan timbul bagi orang awam yang menyangkut teknik operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya. Dalam tulisan ini, penulis akan memberikan ulasan mengenai kasus ini dilihat dari teknik perbankan yang menyangkut operasionalisasi L/C dan aspek hukumnya.
KASUS bermula dari diterimanya L/C bernilai Rp 1,7 triliun oleh Bank BNI Cabang Kebayoran Baru. L/C tersebut dibuka oleh bank-bank yang selain bukan merupakan koresponden Bank BNI, juga bank-bank yang berasal dari negara-negara dalam kategori berisiko tinggi (high risk countries).
Bank-bank tersebut adalah Dubai Bank Kenya Limited; Rosbank Switzerland SA; Middle East Bank Kenya Ltd; dan The Wall Street Banking Corp, Cook Islands Beneficiary (eksportir). Sementara yang menerima L/C adalah perusahaan-perusahaan dalam Gramarindo Group dan Petindo Group. Komoditas yang diekspor adalah pasir kuarsa dan residu minyak dengan negara tujuan Kenya dan beberapa negara di Afrika.
Apa yang seharusnya dilakukan kantor cabang bank penerima L/C (dalam hal ini BNI Kebayoran Baru) ketika menerima dan menegosiasi L/C tersebut? Bank BNI memiliki buku pedoman perusahaan (BPP) yang merupakan buku pegangan kerja bagi setiap petugas, termasuk sistem pengamanan L/C.
Sebelum L/C tersebut diteruskan kepada eksportir, pertama-tama yang harus dilakukan Bank BNI Kebayoran Baru adalah membuat/mengisi work sheet. Work sheet tersebut merupakan lembaran catatan bank yang akan selalu diisi dan menjadi pedoman petugas-petugas bank dalam menangani L/C tersebut, yaitu mulai dari saat L/C itu diterima sampai saat L/C itu dinegosiasikan dan dibayar.
Dengan kata lain, work sheet itu harus selalu berada di dalam pending file. Dalam work sheet itu harus dicatat hal-hal yang menyangkut rincian L/C.
Antara lain siapa bank pembuka (issuing atau opening bank), nomor dan tanggal L/C, siapa eksportirnya, untuk komoditas apa (barang yang diekspor), berapa jumlah satuan atau beratnya, berapa nilainya dan dalam mata uang apa, batas waktu L/C (expiry date), dan batas waktu tanggal bill of lading (dokumen pengangkutan kapal).
Selain itu, dicatat pula apa syarat-syarat L/C, antara lain apakah L/C itu merupakan usance L/C (artinya, wesel ekspor yang harus dibuat eksportir adalah wesel ekspor berjangka yang harus dibayar importir dalam jangka waktu tertentu, misalnya 90 hari setelah wesel itu diterima importir).
Atau L/C tersebut merupakan sight L/C (artinya, wesel ekspor yang harus dibuat oleh eksportir adalah wesel ekspor yang harus segera dibayar seketika wesel itu diterima importir).
Atau mungkin juga itu merupakan standby L/C (SBLC), yakni L/C yang berfungsi sebagai jaminan untuk pembiayaan yang diberikan bank pembuka L/C kepada beneficiary L/C. Dalam kasus Bank BNI, L/C tersebut merupakan usance L/C dan SBLC.
Dicatat pula dalam work sheet tersebut adalah dokumen-dokumen apa saja selain wesel ekspor yang harus diserahkan oleh eksportir kepada negotiating bank atau paying bank (bank pembayar, dalam hal ini Bank BNI Kebayoran Baru).
Dalam work sheet, bank penerima L/C harus mencatat keganjilan-keganjilan (unusualities) dilihat dari ketentuan intern bank penerima (dalam hal ini Bank BNI), kebiasaan-kebiasaan yang berlaku bagi transaksi bisnis yang terkait dengan transaksi L/C tersebut, dari ketentuan Bank Indonesia, dari UCP 500 (ketentuan internasional yang mengatur tentang L/C), dari peraturan perundang-undangan Indonesia.
Pada waktu bank penerima melakukan negosiasi (mengambil alih) wesel ekspor dan dokumen-dokumen ekspor lainnya, petugas bank harus memeriksa apakah dokumen-dokumen yang diserahkan eksportir terdapat kesesuaian (comply with) dengan syarat-syarat L/C.
Bila tidak terdapat kesesuaian (terjadi discrepancies), dalam work sheet harus dicatat pula. Selain itu, dalam work sheet dicatat pula apa yang telah dilakukan bank penerima berkaitan dengan adanya discrepancies tersebut.
Pertanyaan sehubungan dengan kasus ini adalah apakah Bank BNI Kebayoran Baru telah mengisi work sheet tersebut? Menurut informasi, Bank BNI Kebayoran Baru ternyata tidak membuat work sheet, sedangkan work sheet merupakan salah satu sarana pengamanan bagi para petugas dan pejabat bank yang terkait dan bertanggung jawab dengan L/C tersebut.
SEBAGAIMANA telah dikemukakan di atas, bank-bank pembuka L/C tersebut bukan koresponden Bank BNI. Apakah bank penerbit L/C (issuing bank) harus merupakan bank koresponden? Bank pembuka L/C tidak selalu harus bank koresponden.
Apabila bank penerima L/C ingin bertindak sebagai paying bank, misalnya karena eksportir adalah nasabah baiknya, bank harus menerima konfirmasi terlebih dahulu dari bank pembuka L/C tersebut.
Apabila bank pembuka bukan bank koresponden, bank penerima seyogianya hanya bertindak sebagai advising bank saja. Artinya, bank penerima tersebut hanya bertindak sebagai bank yang meneruskan L/C kepada beneficiary saja tanpa memberikan kesanggupan untuk bertindak sebagai paying bank.
Dalam hal bank pembuka bukan bank koresponden, bank penerima L/C dapat bertindak sebagai paying bank hanya apabila L/C tersebut dijamin oleh salah satu bank koresponden atau oleh salah satu bank berperingkat "triple A".
Mengapa disyaratkan bahwa bank pembuka L/C harus suatu bank koresponden? Hal ini disebabkan dengan bank koresponden tersebut ada suatu perjanjian hubungan koresponden yang memuat, antara lain pemberian credit line (pendanaan) untuk masing-masing transaksi
Pertanyaan lain adalah apakah cabang bank penerima L/C dibatasi kewenangannya untuk bertindak sebagai paying bank? Suatu cabang bank penerima pada umumnya dibatasi kewenangannya oleh direksi bank untuk mengambil alih wesel ekspor dan membayarnya.
Dalam kasus Bank BNI, ternyata L/C tersebut tidak dibuka dalam satu L/C dengan jumlah yang sekaligus besar, tetapi dipecah-pecah menjadi banyak L/C yang jumlah untuk masing-masing L/C masih dalam batas kewenangan pemimpin cabang.
Dengan demikian, kantor cabang bank yang bersangkutan tidak perlu harus meminta persetujuan atasannya (dalam hal kasus ini adalah sampai ke tingkat kantor wilayah atau kantor besar).
Menurut ketentuan Undang-Undang Perbankan, bank harus selalu berhati-hati dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Berkenaan dengan transaksi L/C Bank BNI Kebayoran Baru tersebut, kehati-hatian bank itu antara lain menyangkut siapa yang menjadi beneficiary L/C.
Apakah beneficiary adalah nasabah bank penerima dan bagaimana reputasinya selama ini? Apakah beneficiary memiliki kemampuan untuk melaksanakan transaksi komoditas sebagaimana yang dimaksud dalam L/C.
Apabila, misalnya, transaksi itu bukan merupakan bidang usaha beneficiary yang digelutinya selama ini, bank seyogianya waspada. Keharusan untuk bank berhati-hati itu ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998.
Pelanggaran terhadap ketentuan itu dapat diancam dengan pidana penjara dan pidana denda berdasarkan Pasal 49 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang Perbankan.
APAKAH kehati-hatian itu sudah dilakukan Bank BNI Kebayoran Baru? Apabila menurut penelitian bank penerima beneficiary bukan merupakan beneficiary yang bonafide, Bank BNI Kebayoran Baru seyogianya tidak mengambil alih wesel ekspor berjangka dengan mendiskonto wesel yang diajukan oleh eksportir.
Yang dimaksudkan dengan mengambil alih wesel ekspor berjangka tersebut dengan mendiskonto adalah membayar harga wesel sekarang dengan harga yang lebih murah daripada nilainya karena bank baru bisa memperoleh pembayaran untuk nilai penuh wesel itu pada jatuh waktunya yang masih beberapa bulan lagi (pada umumnya 90 hari setelah wesel diterima oleh bank pembuka L/C).
Sepengetahuan penulis, sistem dan prosedur pengamanan transaksi L/C, khususnya di bank-bank BUMN, termasuk Bank BNI, cukup baik karena telah dibangun dan disempurnakan selama bertahun-tahun, antara lain berdasarkan pengalaman- pengalaman pahit masa lampau.
Akan tetapi, sistem pengamanan yang baik saja tidak cukup. Masih diperlukan sikap dari para petugasnya. Sekalipun sistem pengamanan sudah demikian baik, tetapi apabila para petugas bank sengaja melanggar sistem dan prosedur dengan tujuan yang tidak baik, bank akan kebobolan juga.
Bank selalu dihadapkan pada pilihan dilematis antara pengamanan dan pelayanan kepada nasabah. Pengamanan yang terlalu ketat akan menghasilkan pelayanan yang mengecewakan nasabah.
Sebaliknya, pelayanan yang dirasakan sangat memuaskan nasabah akan mengorbankan sistem pengamanan. Menghadapi dilema ini, bank harus bijak dan mampu membangun prosedur kerja yang tetap dapat menjamin keamanan, namun pelayanan bank memuaskan bagi nasabah.
Dari penelitian, ternyata transaksi dalam kasus Bank BNI ini merupakan transaksi bermasalah dengan indikasi transaksi tersebut dilakukan tanpa mengikuti ketentuan intern Bank BNI. Transaksi usance L/C kedua grup usaha yang menjadi beneficiary telah dinegosiasikan oleh Bank BNI Kebayoran Baru dengan diskonto tanpa didahului adanya akseptasi dari bank penerbit.
Di samping itu, dokumen-dokumen L/C mengandung penyimpangan dan negosiasi L/C dilakukan tanpa kelengkapan dokumen.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh kantor besar Bank BNI, para eksportir, yaitu perusahaan-perusahaan yang termasuk Gramarindo Group dan Petindo Group ternyata telah melakukan ekspor fiktif.
Hal ini terungkap antara lain dari hasil verifikasi kepada Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyangkut Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Gramarindo Group, Pejabat Bea Cukai cabang Belitung menyatakan bahwa PEB tersebut palsu.
Sementara itu pula, penyelesaian pembayaran hasil transaksi ekspor (proceed) dari beberapa slip L/C tersebut yang telah dinegosiasikan dilakukan bukan oleh bank pembuka L/C (issuing bank), melainkan dilakukan oleh para eksportir sendiri dengan cara melakukan penyetoran atau melalui pendebetan rekening para eksportir tersebut.
Sebagaimana diketahui, atas laporan kantor besar Bank BNI pada tanggal 30 September 2003, pihak kepolisian telah menahan pegawai Bank BNI Kebayoran Baru yang terlibat, yaitu Koesadiyuwono (mantan pemimpin cabang Bank BNI Kebayoran Baru) dan Edi Santoso (mantan Customer Service Manager Luar Negeri cabang Bank BNI Kebayoran Baru).
Sutan Remy Sjahdeini Guru Besar Hukum Perbankan dan Mantan Bankir
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/06/ekonomi/671493.htm
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.29 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi dan Pelaksanaannya
Dikirim/ditulis pada 4 May 2008 oleh ERROL ARTIKEL HUKUM PIDANA Oleh: Errol Widiastama
Undang-undang Korupsi mempunyai jiwa dan semangat yang luhur, agar dapat memberantas korupsi yang sudah mewabah di Indonesia. Semangat para pembuat UU ini, tidak lebih agar Para Koruptor yang memang demikian canggih didalam melakukan aktivitas korupsi disegala bidang dapat dijerat dan dihukum, sehingga akan memberikan effek jera bagi Koruptor-2 supaya tidak berbuat lagi dan bagi yang akan berbuat akan berpikir 1.000 kali, dengan tegasnya penegakan hukum di Indonesia yang kita cintai ini .
Kata-kata awal dalam UU ini didahului “ DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA “, adalah suatu semangat spiritual agar UU ini didalam pelaksanaanya dapat memberikan rasa keadilan bagi siapa saja yang terlibat dengan undang-2 ini, baik sebagai pembuat, pelaksana, masyarakat dan terpidana. Tuhan yang kita ketahui dan sadari adalah salah satunya mempunyai sifat Maha Adil, sehingga sebagai manusia yang beradab dan beragama, maka sifat KEADILAN adalah mutlak harus kita tegakkan, sehingga Pembuat, pelaksana, masyarakat maupun terpidana tidak dapat mengklaim satu-satunya yang paling adil dan paling benar,
Nurani Keadilan
Ada unsur Nurani yang paling dalam disini, Yaitu unsur Nurani Keadilan yang Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, selain pengalaman, keilmuan dan kekuasaan yang dipunyai oleh para aparat penegak hukum untuk menentukan nasib para terpidana tindak pidana korupsi, ada unsur yang lebih penting yaitu “ NURANI KEADILAN “.Tanpa unsur Nurani ini, maka UU No.31 tahun 1999, yang sudah cukup baik ini, menjadi ajang transaksi bisnis para penegak hukum dengan para koruptor yang sebenar-benarnya koruptor, karena memang dengan diberlakukannya UU. No.31/1999 ini, banyak sekali para peghuni penjara yang koruptor tapi sebenar-benarnya bukan koruptor ( adalah bukan koruptor, tapi dia dijadikan koruptor oleh opini masyarakat yang diciptakan oleh Media dengan sumber informasi dari penegak hukum sendiri, dikarenakan koruptor ini adalah hanya kambing hitam, yang tidak dapat melakukan transaksi bisnis dengan para aparat penegak hukum, karena tidak mempunyai uang atau uang hasil pekerjaan halalnya telah habis di “ ATM “kan oleh penegak hukum yang menanganinya).
Fakta hasil dari survey MTI ( Masyarakat Tranparency Indonesia ), bahwa lembaga yang paling korup yaitu lembaga Penegak hukum itu sendiri ( Polisi, kejaksaaan & kehakiman ), tetapi disatu sisi Penegakan Hukum di Indonesia nampak adanya Grafik yang meningkat didalam pelaksanaannya, tetapi ini tak lebih adalah suatu EFORIA para penegak hukum saja secara politis, sehingga secara institusi baik polisi, jaksa dan hakim nampak cukup baik kinerjanya.
Target Pembasmian Korupsi,“TARGET“ PEMBASMIAN KORUPSI, yang dicanangkan oleh KPK dan Kejaksaan, menyebabkan para penegak hukum berlomba-lomba tanpa melibatkan nurani keadilan lagi, menangkap orang seenaknya sendiri, tanpa perlu adanya PEMBUKTIAN KERUGIAN NEGARA terlebih dahulu, maka yang penting tangkap dulu, lempar ke pengadilan, biarkan pengadilan yang membuktikan, dimana hakim-hakim saat ini lebih pandai menghukum daripada mencari keadilan, walaupun fakta-2 persidangan telah menyatakan terpidana tidak bersalah, tetap divonnis bersalah, karena kuatir menyakiti rasa keadilan masyarakat ( padahal masyarakat yang disakiti ini, adalah telah terperdaya oleh suatu informasi yang menyesatkan dan kemudian dijadikan suatu opini public yang diciptakan oleh para penegak hukum dengan melalui Media ).
Pemerasan kepada terdakwa bukanlah suatu hal yang memalukan lagi, pemerasan sudah terjadi sejak dari proses penyidikan oleh kepolisian, dakwaan oleh kejaksaan dan putusan oleh Hakim, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil transaksi yang terbesar, sehingga apabila seseorang yang belum terbukti melakukan korupsi sudah harus mengeluarkan uang terlebih dahulu, dan apabila si terdakwa sampai di pengadilan sudah tidak punya uang, maka hakim akan memutus dengan berat vonnisnya, ( bahkan penulis pernah melihat seorang jaksa penuntut umum, yang menangis disidang, setelah terpidana divonnis berat oleh hakim, karena Jaksa tersebut sebenarnya tahu, bahwa terpidana bukan pelaku Korupsi, tetapi karena birokrasi RENTUT, maka dituntut berat yang akhirnya hakim juga menuntut lebih berat, karena harus bersaing demi prestise institusi ).
Sehingga TB. R. Nitibaskara secara ekstrem menyebut "HUKUM MENJADI ALAT KEJAHATAN", ini fakta yang kasat mata, dimana para penegak hukum telah benar-benar menjadikan hukum sebagai alat berbuat kejahatan, yaitu sejak 2003 s/d 2008 beberapa polisi, jaksa & hakim yang telah menjadi terpidana, bagi mereka yang telah diindikasikan pada pemberitaan di media massa tetapi belum menjadi tersangka segera membungkam media dengan memberikan imbalan, menakut-nakuti terpidana atau tanpa rasa malu memohon kepada si terpidana agar jangan membuka aib ini, karena si terpidana nanti juga akan dikenakan kasus lainnya lagi, sehingga terpidana menjadi takut melaporkan dan penegak hukum inipun berani menjanjikan akan membantu terpidana bila melakukan upaya hukum lanjutan.
Penegakkan Hukum, Prestise Intitusi
PENEGAKKAN HUKUM hanyalah menjadi simbol PRESTISE/PRESTASI KINERJA para aparat penegak hukum yang makin kaya saja, dengan meminta bagian dari hasil kerja halal para Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor, sedangkan para Koruptor yang sebenarnya Koruptor, dibiarkan lari keluar negeri dengan alasan saling lempar kesalahan pada institusi yang ada, padahal semuanya adalah hasil pengaturan para penegak hukum itu sendiri dengan para koruptor kakap yang telah juga dijarah sebagian dananya.
Kapolri, pernah mengatakan pada media massa, bahwa dia keberatan dengan penilaian MTI , bahwa institusi yang dipimpinnya adalah termasuk salah satu yang terkorup dan responden yang ikut survey telah dibentuk dulu opininya lewat media, sehingga kemudian dikatakan menjadi opini masyarakat, penulis dalam hal ini hanya ingin menyampaikan, bahwasanya inilah juga cara-cara para aparat polisi membentuk opini public/masyarakat lewat mis information yang diberikan kepada media, sehingga koruptor yang sebenarnya bukan koruptor tidak sempat membela dirinya sendiri, karena sudah dijadikan terpidana sebelum persidangan dimulai.
Bukanlah kesalahan pada UU anti Korupsi ini, tetapi para aparat hukum ini sendirilah yang memanfaatkan celah-celah hukum dengan mengatasnamakan “Pembasmian korupsi“, yang sebenarnya adalah bahwa para penegak hukum inilah yang ikut andil bagi-bagi hasil korupsi dengan para Koruptor yang sebenarnya Koruptor, celah-celah hukum sangat dikuasainya, hasil pemerasan dari terpidana tidak mungkin menggunakan kwintansi, semua hasil jarahannya tidak disimpan atas namanya sendiri, tetapi atas nama pembantunya, atas nama saudara dan orang-orang lain yang dia percaya, bagi penegak hukum yang pandai, dia tidak akan membawa mobil mewah kekantornya, tapi apabila dilihat dari kehidupan pribadinya, 3 mobil mewah dirumahnya & 1 mobil butut untuk kekantor, yang mana apabila dilihat dari standar gajinya, dia hanya golongan IV.A, dengan gaji +/- Rp. 4,5 juta, dan juga mempunyai bisnis di Luar negeri, tapi karena kepandaiannya memanfaatkan celah hukum yang ada, nampaklah dia adalah “PENDEKAR PEMBASMI KORUPSI” dimata masyarakat.
Eforia dan Pertumbuhan Ekonomi Stagnan
Karena masyarakat sudah antipati pada semua hal yang berbau korupsi, maka masyarakat menjadi senang apabila koruptor ditangkap & dihukum berat, sehingga apabila ada Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor ditangkap dan ditahan, masyarakat akan memuji hasil kerja para aparat penegak hukum dan apabila ada Koruptor yang memang tidak terbukti bersalah dan di vonnis bebas oleh pengadilan, maka masyarakat akan mengumpat, bahwa tidak profesional, menyakitkan rasa keadilan masyarakat, goblok dllsbgnya, sehingga hakim menjadi ketakutan, dan hakim yang masih punya nurani seperti ini, kemudian dipindah tugaskan kedaerah kering, demi menjaga prestise lembaga peradilan. Dan bagaikan gayung bersambut, maka polisi dan kejaksaanpun akan melemparkan kesalahan pada pihak pengadilan, supaya prestise institusi mereka tetap terjaga, semua ini dikarenakan kewenangan penegakkan hukum yang diberikan, tidak digunakan secara profesional, cenderung sewenang-wenang dan koruptif.
Kecenderungan penyalahgunaan kewenangan ini, sangat mencemaskan, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat lainnya juga, sehingga dampak kesewenang-wenangan ini sangat fatal bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pimpro didaerah yang dahulu adalah jabatan basah, menjadi jabatan yang mengerikan, sehingga proyek-proyek didaerah yang sebenarnya menyerap tenaga kerja cukup banyak menjadi terhenti, para pengusaha melakukan PHK karena dunia usaha terhenti, kredit dari bank sulit didapat, pihak Bank juga sangat-sangat berhati-hati untuk menyalurkan kredit, para Kepala Daerah juga lebih senang menaruh dana APBD dalam bentuk SBI, sehingga tidak ada resiko tuduhan korupsi. Semuanya ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi jalan ditempat.
Ketakutan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini menjadi terhenti, bukanlah tidak beralasan, semuanya dikarenakan UU Anti Korupsi yang merupakan komitmen pemerintah secara serius didalam Pembasmian Korupsi, tidak didukung oleh sistim dan aparatur penegak hukum, masih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik & ekonomi sesaat dan juga integritas serta kwalitas aparat penegak hukum yang buruk, belum bersih, sewenang-wenang dan tebang pilih.
Kalaupun ada suara kebenaran yang disampaikan oleh Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor, dianggap oleh aparat penegak hukum, sebagai suara perlawanan dari para koruptor, sehingga suara kebenaran itupun hanya terdengar lirih dan sayup-sayup bagi anggota masyarakat yang masih mempunyai hati nurani. Propanganda Pembasmian Korupsi dibesar-besarkan, hanyalah alat politis sebagian para aparat penegak hukum agar masyarakat menilai bahwa aparat tersebut adalah “ SAPU YANG BERSIH “. Benarlah peribahasa yang mengatakan “ Gajah dipelupuk mata tidak tampak, kuman diseberang lautan tampak.
RATU SUADIL, Medio Mei 2008
http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2007/03/uukorupsi-no31-tahun-1999-dan.html
http://www.legalitas.org/?q=content/undangundang-nomor-31-tahun-1999-tentang-korupsi-dan-pelaksanaannya
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.25 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
Buruknya Manajemen Risiko Biang Kerok Bobolnya L/C BNI
Kamis, 06 November 2003
Tedy Fardiansyah Idris
BANK besar, rugi besar. Sebuah "kecelakaan" yang saat ini harus kita saksikan bersama-sama telah menghantam sistem perbankan kita dengan bobolnya Bank BNI akibat transaksi surat kredit (letter of credit) fiktif dengan variasi penyimpangan prosedur operasi bank. Beruntung, program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) belum dilepaskan sehingga kasus ini tidak perlu membuat nasabah bank pada pening dan dampaknya mudah-mudahan tidak sistemik.
MULAI dari surat kredit (L/C) yang diterbitkan bukan dari bank koresponden, syarat-syarat L/C yang tak dipenuhi, diskonto yang dilakukan sebelum akseptasi opening bank (bank pembuka L/C), sampai dengan pemalsuan dokumen L/C disebut sebagai sebab musabab yang menyebabkan bobolnya Bank BNI ini (lihat gambar mekanisme L/C).
Tentunya, bukan bermaksud untuk menghujat dan mendera Bank BNI, para direktur bank lokal menyatakan bahwa kebobolan ini akibat tidak diterapkannya sistem manajemen risiko yang baik.
Nah, kalau bank sebesar Bank BNI saja bisa terduduk seperti ini akibat dihantam risiko, setidaknya bank-bank lain bisa bercermin, sangat penting segera membangun sistem manajemen risiko yang terintegrasi ke segenap level usaha dan hierarki bank.
Yang sangat memprihatinkan, kasus ini terjadi hanya dalam hitungan bulan, saat Bank Indonesia (BI) akan segera memberlakukan Peraturan Nomor 5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum, yang paling lambat pada tanggal 1 April 2003, bank sudah harus menyerahkan rencana aksi (action plan) mengenai penerapan manajemen risiko.
Manajemen risiko ini mencakup adanya pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem informasi manajemen risiko dan sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
Namun, setidaknya, ada setitik hikmah yang bisa diambil. Setelah kasus Bank BNI ini, diharapkan perdebatan mengenai pentingnya penerapan manajemen bank berbasis risiko akan sirna dan segera harus menjadi prioritas utama bagi setiap bank.
Kembali pada kasus bobolnya L/C Bank BNI, jika didalami, sebetulnya biang keroknya bernama fraud risk (risiko kejahatan berupa penipuan, pencurian, aksi kriminal, korupsi, dan kolusi) yang merupakan bagian dari risiko operasional (operational risk).
Risiko operasional ini telah direkomendasikan oleh Bank for International Settlements (BIS) dalam The New Basel Accord (Basel II) untuk dimasukkan dalam kalkulasi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) suatu bank.
Mulai awal tahun 2007, bank direkomendasikan untuk memasukkan risiko operasional ini guna mendampingi risiko kredit dan risiko pasar dalam perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
"The risk of direct of indirect loss resulting from inadequate or failed internal process, people and system, or from external events," demikian bunyi definisi versi BIS perihal risiko operasional tersebut.
Singkatnya, Bank BNI telah mengalami kegagalan dari proses dan orang yang ditimbulkan oleh fraud (penipuan), baik secara internal ataupun eksternal.
Ironinya, risiko operasional ini sering kali dianggap enteng. Padahal, faktanya: "It is the first risk that banks must manage, even before they make their first loan or execute their first trade," begitu gema dua kalimat pertama yang terdapat pada ringkasan (executive summary) pada hasil survei yang dilakukan The Risk Management Association (RMA, 2000) yang berjudul "Operational Risk-The Next Frontier".
Pendek kata, potensi kerugian yang bersumber dari luar relatif lebih gampang untuk didefinisikan daripada potensi kerugian yang muncul dari dalam, seperti kejahatan karyawan bank (employee fraud).
Didukung kesempatan
Terkadang memang agak sulit untuk mendefinisikan fraud secara gamblang. Tidak ada definisi legal mengenai apa yang dimaksud dengan fraud, namun yang jelas, berpotensi membuat bank merugi. Akan tetapi, paling tidak, kata yang menyerempet aksi kejahatan, seperti pencurian, aksi kriminal, korupsi, dan kolusi, merupakan bagian dari fraud itu sendiri.
Mengapa fraud bisa terjadi? Setidaknya karena ada pelaku dan adanya motivasi untuk melakukan ketidakjujuran yang bisa ditimbulkan banyak sebab musabab. Tentunya, jika tidak ada "kesempatan", tentu tidak akan ada fraud.
Kesempatan inilah yang harusnya bisa dikurangi jika saja Bank BNI memiliki sistem pengendalian terhadap risiko secara umum dan fraud risk pada tahap yang lebih spesifik. Tentunya, sistem pengendalian ini harus berfungsi dengan baik.
Kalau saja bank-bank kita telah mulai membangun sistem manajemen risiko, seperti yang direkomendasikan oleh BI, yang merupakan suatu cermin dari diterapkannya rekomendasi BIS melalui Basel Committee on Banking Supervision, kiranya bank-bank kita akan segera menemukan beberapa fraud lainnya.
Karena, sebagus apa pun sistem manajemen risiko dibangun dan diterapkan, fraud risk ini tidak bisa hilang seiring dengan sifat manusia yang beragam. Toh, kejahatan tidak akan pernah musnah dari bumi tempat kita berpijak.
Fraud risk hanyalah salah satu risiko dari seabrek risiko yang harus dihadapi suatu bank. Dalam konteks manajemen risiko bank, fraud risk bisa diartikan sebagai keterpaparan (exposure) yang dihadapi bank terhadap fraud yang bisa saja muncul secara internal dan eksternal.
Penting sekali bagi bank untuk dapat mendefinisikan fraud sehingga bank memiliki respons yang bagus terhadap kasus-kasus internal yang melibatkan setiap karyawannya.
Manajemen "fraud risk"
Setiap orang dalam bank bisa saja melakukan fraud. Sebaliknya, setiap orang di dalam bank juga bisa memberikan kontribusi terhadap pengelolaan untuk mengurangi fraud risk itu sendiri.
Secara garis besar, untuk membangun sistem manajemen terhadap fraud risk bisa dilakukan dengan beberapa tahapan. Pertama, bank harus bisa memperkirakan besarnya fraud risk yang dihadapi bank secara menyeluruh.
Kedua, selanjutnya perlu dilakukan identifikasi area mana yang paling rentan terhadap suatu jenis dari fraud risk tersebut. Dalam hal ini, bank bisa melakukan penilaian risiko sendiri (risk-self assessment) melalui kuesioner, wawancara, bahkan sampai melakukan brainstorming secara internal.
Kemudian dilakukan pemeringkatan dengan berbagai kriteria untuk menentukan area mana yang paling rentan, dan dilakukan identifikasi bentuk-bentuk fraud pada masing-masing area tersebut.
Ketiga, harus diciptakan sistem pelaporan sampai ke level direksi bank. Keempat, perlu dilakukan evaluasi terhadap besarnya fraud risk yang dihadapi sehingga akan memberikan informasi area mana yang perlu segera dilakukan tindakan pencegahan.
Kelima, setelah tahap evaluasi, tentunya bank harus bisa melakukan langkah-langkah sebagai respons atas fraud risk yang ada. Misalnya, dengan membuat alokasi tanggung jawab terhadap fraud risk tertentu, menciptakan pengendalian internal terhadap fraud risk dengan biaya seefisien mungkin, mengembangkan pihak-pihak yang diberi tanggung jawab sehingga memiliki keahlian untuk mengelola risiko tersebut, dan secara efektif melakukan tindakan jika terjadi fraud.
Budaya anti-"fraud"
Singkatnya, penting sekali bagi bank untuk membangun budaya anti-fraud yang membumi pada semua level yang ada. Ini harus dimulai dari para petinggi bank.
Sistem pengendalian internal bank harus dapat menciptakan kondisi di mana fraud risk adalah risiko yang harus dikelola berdampingan dengan risiko-risiko lainnya.
Proses penciptaan budaya anti-fraud ini, misalnya, bisa dilakukan bank dengan membuat pernyataan yang jelas mengenai nilai-nilai etika, membuat kebijakan anti-fraud, membangun kesadaran semua karyawan terhadap fraud, dan sanksi yang tegas. Lebih jauh, bank bisa mulai dengan merekrut karyawan yang memegang tinggi nilai kejujuran dan terus memelihara moral semua karyawan secara berkesinambungan.
Kasus bobolnya L/C ini sebetulnya bisa dicegah dengan deteksi sedini mungkin jika saja bank bisa menangkapi sinyal-sinyal yang bisa diidentifikasi sebagai potensi fraud, tentunya dengan penuh kehati-hatian.
Kalau benar Bank BNI melakukan diskonto sebelum akseptasi dilakukan oleh opening bank (bank pembuka L/C), jelas hal ini menyimpang dari prinsip kehati-hatian dan tentu dimotivasi oleh sebab tertentu. Yang jelas, fraud telah terjadi dan tak akan pernah hilang dalam setiap aktivitas bank sehingga perlu terus diwaspadai.
Sampai dengan titik ini, semua bank harus menciptakan sistem pengendalian internal yang solid. Hal ini jelas-jelas terdapat dalam peraturan BI yang akan segera diberlakukan mulai 1 Januari 2004.
Dan, BI sebagai regulator tentu harus mengambil tindakan yang tepat jika saja sistem pengendalian internal suatu bank tidaklah "cukup" atau efektif terhadap profil risiko bank tersebut.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi BIS, seperti yang terdapat pada dokumen yang ditelurkan Basel Committee on Banking Supervision, September 1998, yakni "Framework For Internal Control System in Banking Organization".
TEDY Fardiansyah Idris, AKADEMISI Pengamat dan Praktisi Keuangan
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/06/ekonomi/671628.htm
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.23 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
Solusi Kasus BLBI
Analisis oleh : Prof. Dr. Romli Atmasasmita
(Pakar Hukum Universitas Padjajaran)
KASUS BLBI merebak kembali setelah Presiden SBY mengimbau agar pengemplang dana BLBI segera kembali ke Indonesia dengan catatan tidak akan diperlakukan semena-mena oleh aparat penegak hukum. Kasus ini lebih menarik perhatian lagi setelah beberapa pengemplang tersebut mendatangi Istana Kepresidenan dengan maksud baik.
Namun, secara politis menjadi tidak etis dan menimbulkan iklim yang tidak kondusif bagi penegak hukum dan agenda pemberantasan korupsi yang telah dicanangkan Presiden sendiri karena pada hakikatnya para pengemplang BLBI adalah aktor penyebab kerugian keuangan negara.
Dalam konteks kepastian hukum dan kemanfaatan penyelesaian kasus BLBI tersebut telah ditetapkan kebijakan di era pemerintahan Megawati, yaitu dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah meyelesaikan kewajibannya dan tindakan hukum terhadap debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya.
Data debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya tercatat 29 orang dan 17 orang tidak menyelesaikannya. Dari 46 jumlah pemegang saham yang tidak mau menyelesaikan kewajibannya untuk menandatangani perjanjian MSAA atau MRNIA atau tidak mau mengikuti PKPS sebanyak delapan orang.
Dasar hukum penyelesaian R & D tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang notabene produk pemerintah dan DPR ketika itu.
Atas dasar kebijakan tersebut jelas bahwa penyelesain BLBI lebih mengedepankan kemanfaatan daripada sisi kepastian hukum yang menjadi tujuan hukum saat ini. Hanya, dalam konteks penyelesaian kasus BLBI dilihat dari kacamata Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan telah direvisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi dan bukan hanya merupakan tindak pidana perbankan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Opsi penentuan kasus BLBI merupakan tindak pidana korupsi atau tindak pidana perbankan sangat tergantung dari Jaksa Agung sebagai ujung tombak penegakan jukum dalam pemberantasan korupsi ketika itu di mana KPK belum terbentuk. Dan, sudah tentu, Jaksa Agung yang menempati posisi setingkat menteri dalam kabinet sejak lama merupakan kerikil tajam yang dapat menghambat penuntasan kasus-kasus korupsi besar di mana seorang Jaksa Agung berkewajiban melaporkan kepada Presiden atas langkah yang sedang dan akan diambilnya dalam pemberantasan korupsi atau bahkan seorang Jaksa Agung tinggal melaksanakan strategi pemberantasan korupsi yang telah disiapkan oleh seorang Presiden.
Opsi penyelesaian kasus BLBI melalui perjanjian-perjanjian MSAA/MRNIA atau PKPS merupakan pilihan kebijakan politik yang mengedepankan win-win solution dan jelas bertentangan diametral dengan kebijakan politik hukum yang mengedepankan kepastian hukum. Masalah inti dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi besar terutama kasus BLBI ini adalah masalah sikap pemerintah yang tidak pernah kunjung konsisten dan rentan dalam menghadapi intervensi banyak kepentingan konglomerasi dan kelompok atau kepentingan politik, terutama dalam menghadapi tekanan IMF atau negara donor, baik secara individual atau kelompok.
Dampak negatif yang tampak dari inkonsistensi tersebut adalah munculnya fenomena dan fakta perlakuan hukum yang bersifat diskriminatif. Sementara kasus korupsi KPU dan kasus PLN dan Bank Mandiri sedang diadili, dengan mata telanjang kita menyaksikan kunjungan pengemplang BLBI ke Istana sekalipun dengan itikad baik, suatu keadaan yang bersifat kontroversial di mata masyarakat luas akan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terlepas dari kemanfaatan yang akan diperoleh di kemudian hari.
Sudah seharusnya pemerintah menegaskan kasus BLBI itu merupakan kasus tindak pidana perbankan atau kasus korupsi dengan dasar hukum bahwa asas hukum lex speciali lege generali hanya untuk kasus korupsi yang dinyatakan secara tegas ditentukan bahwa tindak pidana lain merupakan pidana korupsi (lihat Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001), sedangkan kasus tindak pidana perbankan hanya berlaku bagi setiap orang yang kepadanya diberlakukan khusus undang-undang perbankan (lex speciali systematic).
Jika dilihat dari penafsiran historis, jelas bahwa undang-undang korupsi lebih ditujukan kepada pejabat publik (pemerintah) daripada ditujukan kepada setiap orang yang bergerak di sektor swasta. Penafsiran gramatikal dari UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 telah mengaitkan setiap orang dengan tidak membeda-bedakan sektor publik atau sektor swasta yang melawan hukum secara langsung atau tidak langsung memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Di dalam balutan UU tersebut justru Pasal 14 jika dipahami mendalam merupakan rambu-rambu pembatas agar UU 31 Tahun 1999 tidak merupakan “pukat harimau” yang dapat menjaring semua kejadian termasuk tindak pidana di bidang lainnya (pajak, perbankan, pasar modal atau di bidang regulasi lainnya).
Sudah tentu kemelut dunia perbankan pada khususnya dan iklim aktivitas di sektor swasta lainnya dalam konteks pemberantasan korupsi disebabkan tidak adanya kesatuan persepsi dan penafsiran hukum yang sama terhadap latar belakang keberadaan dan substansi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta UU terkait lainnya seperti UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dalam konteks UU perpajakan, perbankan, dan UU administratif lainnya.
Kemelut semakin bertambah karena kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi sejak dulu sampai sekarang tidak konsisten dan cenderung diskriminatif. Imbauan kembali kepada kebijakan pemerintah masa lalu dengan berpijak kepada UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 masih dipertimbangkan pemerintah SBY dan sedang disusun kebijakan baru yang belum kita ketahui.
Namun, tanda-tanda kembali dan tetap mempertahankan kebijakan masa lalu sudah tampak dengan diserahkannya penyelesaian BLBI kepada Menteri keuangan sebagai ujung tombak, bukan Kejaksaan Agung. Jika demikian halnya jelas pemerintahan SBY hendak menegaskan batas-batas lingkup wewenang Jaksa Agung dalam kasus BLBI atau dengan kata lain, hendak ditarik garis batas antara hukum administratif yang memuat ketentuan pidana dan hukum pidana khusus seperti UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah tersebut sepanjang semuanya dilaksanakan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau pada masa kampanye pemilihan Presiden pada 2009.
Dampak hukum dari kebijakan politik tersebut cukup mendasar, yaitu diperlukannya kebersamaan pakar hukum dan praktisi hukum untuk duduk bersama merenungkan kembali langkah-langkah pemberantasan korupsi masa lalu dan sekarang serta harus dilakukan di masa mendatang terhadap kasus perbankan, perpajakan, kepabeanan, ataupun sektor pelayanan publik dengan harapan terdapat kesamaan persepsi untuk me-review seluruh sistem dan asas-asas hukum yang selama ini telah dioperasionalkan terhadap kasus-kasus yang ditengarai sebagai tindak pidana korupsi dan meletakan pada tempat yang selayaknya dan proporsional.
Secara kontekstual peraturan perundang-undangan korupsi vide Pasa 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang secara khusus memuat ketentuan murni mengenai definisi dan rumusan tindak pidana korupsi perlu dipertimbangkan kembali dengan tolok ukur apakah pemberantasan korupsi, baik yang menyangkut sektor publik maupun sektor swasta, bertujuan menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kinerja aktivitas pelayanan publik yang lebih baik atau iklim bisnis yang lebih sehat atau ditujukan secara khusus untuk menjerakan para pelaku dalam dugaan tindak pidana korupsi ?
Untuk menjawab pertanyaan yang bersifat dilematis tersebut maka penerapan strategi pencegahan (preventif) dan strategi pemulihan (asset recovery), di samping strategi penghukum merupakan jawaban yang pas bagi situasi ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang di Indonesia. Perpaduan ketiga strategi tersebut telah menempatkan penghukuman berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai suatu ultimatum remedium, sedangkan penerapan ketentuan pidana di dalam UU administratif lainnya merupakan premium remedium.
Yang aneh adalah bahwa kebijakan pemerintah terhadap BLBI khusus bagi obligor yang nonkooperatif justru sudah melangkahi ketiga strategi tersebut. Penuntasan kasus BLBI saat ini akan menjadi preseden penyelesaian kasus-kasus yang sama di masa yang akan datang. Karena itu, Presiden SBY harus dapat menangkap momentum ini sebagai solusi yang bersifat permanen sebagaimana halnya yang telah dilakukan dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Timor Timur dan GAM.
Note: Diambil dari Harian Seputar Indonesia, 20 Februari 2006.
http://www.portalhukum.com/index.php?name=News&file=article&sid=35
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.11 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS KORUPSI
Oct 20, 2006 - 07:04 PM
Opini oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad & Ketua Forum 2004)
Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial transnasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.
Ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan terorganisasi dan bersifat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbesar pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Filipina dan Nigeria dan beberapa negara Afrika lainnya.
Kasus terbaru menyangkut mantan Perdana Menteri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi.
Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam sistem birokrasi yang juga koruptif sehingga memerlukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi merupakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hubungan antara dua negara atau lebih, sehingga memerlukan kerjasama aktif antara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi.
Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi didukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pemberantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya.
Perkembangan praktik tersebut di beberapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembuktian kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian negatif” tidak mudah diterapkan.
Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang tidak terbatas, sehingga muncullah alternatif asas pembuktian baru yang justru berasal dari penelitian negara maju dan dipandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif dalam membuka secara luas akses pembuktian asal usul harta kekayaan yang diduga diperoleh karena korupsi.
Alternatif pembuktian yang diajukan dan digagas oleh pemikir di negara maju (Oliver, 2006) adalah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of principles), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi.
Model baru asas pembuktian terbalik ini ditujukan terhadap pengungkapan secara tuntas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.
Teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan dalam harta kekayaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebelumnya yang bersangkutan belum memperoleh harta kekayaan sebanyak sekarang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah dipraktikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Ong terhadap pemohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai dengan Hong Kong Bribery Ordinance Act.
Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan pengadilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktiannya.
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang menggunakan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggunaan prosedur keperdataan dalam menerapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk menggugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.
UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of
Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menempatkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi tersangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.
Sudah tentu pembuktian terbalik dalam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korupsi menimbulkan pro dan kontra. Pandangan kontra mengatakan bahwa, pembuktian terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi.
Namun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber kemiskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi individu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melainkan hak relatif, dan berbeda dengan perlindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.
Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freezing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascaratifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pembuktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan mengenai penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.
Yang terpenting dalam hukum pembuktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata kerugiannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masyarakat luas terutama pihak ketiga yang dirugikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberantasankorupsi. (*)
Note: Diambil dari Harian Seputar Indonesia 27 September 2006
http://www.portalhukum.com/index.php?name=News&file=article&sid=40
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.03 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum
Uang Yayasan BI Bukan Keuangan Negara ?
Senin, 21 Juli 2008Dikirim/ditulis pada 15 July 2008 oleh legalitas ARTIKEL HUKUM PIDANA Oleh : Andi Wahyu W
[Penulis adalah Praktisi Hukum andiwahyu08@yahoo.com]
Dalam situs hukumonline tanggal 11 Juli 2008, termuat berita pendapat hukum dari Prof Arifin P Soeria Atmaja bahwa uang yayasan lembaga pendidikan perbankan Indonesia, (LPPI) tidak masuk katagori keuangan negara. Alasan yang dikemukakan, pertama, status BI sebagai badan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 4(3) UU No. 23tahun 1999 jonto UU No 3 Th 2004 tentang BI.
Dengan status ini menurut Prof Arifin, keuangan Bank Indonesia sebagai badan hukum merupakan keuangan Bank Indonesia dan tidak termasuk keuangan negara. Kedua, pengelolaan dan pertanggungjawaban diatur sendiri oleh mekanisme BI sehingga tidak berada dalam otoritas Menteri Keuangan Negara selaku Bendahara Umum Negara dan tidak berada dalam mekanisme APBN.
Rezim Hukum Keuangan Negara
Sesungguhnya, persoalan hukum keuangan negara harus dikembalikan kepada undang-undang pokok yang mengatur tentang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Undang-Undang ini menggeser pemahaman yuridis bahwa “keuangan negara” tidak lebih dari “anggaran negara”, sekedar apa yang disebut dalam APBN. Ruang lingkup keuangan negara dalam undang – undang ini mengalami perluasan rumusan yang meliputi sisi obyek, subyek, dan proses serta tujuan (lihat penjelasan UU No 17/2003).
Menurut Penjelasan UU No 17/2003 yang dimaksud dengan dari sisi obyek keuangan negara bukan hanya uang tetapi semua hak dan kewajiban yang bisa dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan negara/daerah dan badan lain yang ada kaitan dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut diatas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan negara.
Undang-Undang No 31/1999 Jo Undang-Undang Nomor 20/2001 Tentang Pemberantasan Korupsi menggunakan rumusan keuangan negara yang sama dengan rumusan yang ada di Undang-Undang No 17/2003. Mungkin saja pembentuk Undang-Undang No 17/2003 mengikuti rumusan (secara prinsip hukum) yang ada dalam Undang-Undang Nomor 31/1999 Jo UU No 20/2001.
Prinsip yang dimaksud adalah perluasan ruang lingkup keuangan negara, yaitu tidak sekedar uang, anggaran (APBN) dan yang berada dalam penguasaan langsung pemerintah. Tapi, hak yang bisa dinilai dengan uang, baik yang langsung dalam penguasaan pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan hukum lain selain pemerintah.
Di sebutkan dalam penjelasan UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001, bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,(cetak miring pen) termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
(a) berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara baik ditingkat pusat maupun didaerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, (cetak miring pen) badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara (cetak miring pen) atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian Negara.
Status Uang Yayasan LPPI Dalam Kasus Hukum Aliran Dana BI (Gratifikasi)
Mendudukan status uang Yayasan LPPI dalam kasus tindak pidana korupsi dan gratifikasi tidak bisa merujuk pada Undang-Undang BI, tapi harus merujuk pada Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, mengingat undang-undang ini merupakan sumber legalitas dan yuridiksi (kewenangan) dari KPK dan Pengadilan Tipikor sebagai penegak hukum yang melakukan proses penindakan hukum atas kasus perkara aliran dana BI. Undang-Undang BI bisa dikesampingkan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor untuk menentukan apakah uang Yayasan LPPI masuk Katagori Keuangan Negara atau bukan.
Melihat uang Yayasan LPPI secara faktual hukum, sesungguhnya bisa dilihat dari aspek sejarah dan pengelolaan. Secara historis, Yayasan LPPI didirikan sepenuhnya oleh BI, sehingga Gubernur BI secara jabatan menjabat sebagai Ketua sekaligus anggota dewan kurator. Sebagai lembaga yang didirikan dan dikelola oleh BI sepenuhnya, pasti permodalan juga dari BI. Bahkan BI sebelum krisis pernah menaruh uangnya di Yayasan LPPI sebesar Rp 50 Milyar Rupiah. (lihat Majalah Tempo 24 Februari 2008, hal 125).
Fakta hukum diatas, yang menunjukan bahwa uang Yayasan LPPI dari BI yang juga merupakan Keuangan Negara dan di kelola secara jabatan atau ex officio. Kenyataan ini jika dirujukan dengan ketentuan yuridis ruang lingkup yuridiksi KPK dan Pengadilan Tipikor, dapat disimpulkan bahwa uang yayasan LPPI merupakan katagori keuangan negara sebagaimana rumusan dalam UU Pemberantasan Korupsi.
Ada tiga alasan memasukan fakta hukum tersebut diatas dalam lingkup keuangan negara menurut UU pemberantasan Korupsi.
Pertama, uang tersebut berada dalam yayasan yang didirikan dan dikelola oleh Dewan Gubernur BI (BI sebagai lembaga negara), sehingga keberadaan yayasan tidak bisa dipisahkan dengan BI. Fakta hukum ini masuk dalam katagori aturan definisi keuangan negara huruf a, berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, … dst.
Kedua, keuangan yayasan berasal dari BI sehingga bisa dianggap secara hukum, ada permodalan dari negara dalam keuangan yayasan. Fakta hukum ini masuk dalam katagori aturan definisi keuangan negara huruf b, berada dalam penguasaan, pengurusan, pertanggungjawaban …… yayasan, …… yang menyertakan modal negara, … dst. Ketiga, keuangan BI adalah keuangan negara yang dipisahkan karena BI merupakan badan hukum tersendiri.
Fakta hukum tentang uang Yayasan LPPI tersebut diatas, juga masuk dalam rumusan Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 17/2003. Dalam pasal 2 UU tersebut disebutkan, huruf g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Huruf i, kekayaan pihak lain dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dalam penjelasan pasal 2 huruf i, kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga atau perusahaan negara/daerah.
Uang Yayasan LPPI masuk katagori hukum yang disebut dalam pasal 2 huruf I, karena uang Yayasan LPPI berasal dari uang BI (menerima fasilitas dari Pemerintah).
Meskipun BI sebagai badan hukum sendiri dan bukan bagian dari Pemerintahan di bawah Presiden, namun posisi BI tetap bagian dari fungsi pemerintahan. Sehingga aliran dana BI ke yayasan merupakan aliran dana pemerintah juga. Berkenaan dengan ini, Maqdir Ismail mengemukakan dalam disertasi doktornya, sebagai berikut :
Dengan diakuinya independensi bank sentral oleh konstitusi, maka posisi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral mutatis mutandis diakui pula oleh UUD 1945, sehingga kedudukan Bank Indonesia adalah lembaga negara yang terpisah dari Pemerintah.
Tetapi terpisahnya Bank Indonesia dari pemerintah harus dilihat terpisah dalam menjalankan fungsinya, sedangkan secara institusi tetap merupakan bagian dari pemerintah, dengan kata lain, Bank Indonesia berada diluar kabinet tetapi tetap dalam struktur pemerintahan, Bank Indonesia tetap menjadi bagian integral dari pemerintah.[1]
Dengan landasan hukum tersebut diatas (UU No 17/2003) BPK melakukan pemeriksaan atas uang Yayasan LPPI yang sedang bermasalah ini. Sehingga BPK turut aktif mendorong aparat hukum untuk melakukan tindakan hukum atas masalah uang Yayasan LPPI sebesar 100 milyar.
Dakwaan Pidana Kumulatif.
Adnan Topan Santoso tidak mempermasalahkan asal uang sebesar Rp 100 Milyar dalam perkara aliran dana BI ke anggota DPR yang sedang disidang di pengadilan Tipikor Jakarta. Alasannya, dakwaan utama adalah suap. Lebih detail Adnan Topan Husodo mengemukakan:
Dalam kasus ini, yang menjadi dakwaan utama adalah penyuapan. “Jadi sebenarnya suap itu tidak bicara soal apakah uang untuk menyuap itu dari uang negara atau dari pihak swasta itu tidak relevan lagi untuk diperdebatkan, karena pada prakteknya ya suap adalah suap, uangnya darimanapun tetap adalah suap. [2]
Penegak hukum harus mengusut asal uang suap (gratifikasi) untuk menemukan kemungkinan adanya tindak pidana korupsi. Gratifikasi dan tindak pidana korupsi bukan tindak pidana yang sama, dasar pasalnya berbeda, tetapi besar kemungkinan berkaitan dan bersamaan terjadinya. Mengingat, kemungkinan besar uang suap dari uang yang tidak halal secara hukum positif, seperti, hasil judi, korupsi, bisnis illegal dan lain sebagainya.
Berat bagi orang melakukan suap dengan uang hasil keringat sendiri yang dikumpul dari sedikit demi sedikit. Selain itu, ikatan psikologis antara orang dengan duit hasil keringatnya lebih dalam. Pameo orang mengatakan, easy come easy go. Dengan terbuktinya kasus suap, seharusnya menjadi pintu gerbang utama membuka kejahatan asal uang suap.
Dalam konteks kasus aliran dana BI ke anggota DPR dengan merujuk pada fakta hukum tersebut diatas, sesungguhnya telah terjadi dua tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang sama.
Pertama, perbuatan memutuskan pengambilan dan penggunaan uang Yayasan LPPI (tindak pidana korupsi).
Kedua, menggunakan uang tersebut untuk diberikan kepada beberapa anggota DPR (gratifikasi). Perbuatan memutuskan menggunakan uang Yayasan LPPI masuk dalam rumusan tindak pidana korupsi karena uang Yayasan LPPI merupakan keuangan negara sebagaimana dijelaskan diatas.
Dengan demikian, telah memenuhi, pertama ; unsur melawan hukum, yaitu melanggar aturan pasal 5 Jo pasal 70 UU No 16/2001 tentang Yayasan.[3] Sesungguhnya ini merupakan pidana umum namun karena stutus Yayasan LPPI masuk katagori keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf i UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara Jo Penjelasan (Rumusan Keuangan Negara) UU No 31/1999 Jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi, maka pidana umum hapus menjadi pidana korupsi (lex specialis derogat lex generalis).
Kedua, unsur dapat merugikan keangan negara, yaitu bahkan uang negara yang berada di Yayasan LPPI telah berkurang dan hilang sebesar 100 milyar rupiah. Unsur kerugian keuangan negara telah terjadi secara nyata bukan lagi potensi. Ketiga, memperkaya orang lain yaitu, beberapa anggota DPR yang menerima.
Mempidana perkara aliran dana BI ke beberapa anggota DPR dengan hanya pasal gratifikasi saja tidaklah adil, karena perbuatan ini jelas merugikan keuangan negara. Gratifikasi menjadi tindak pidana karena berpotensi moral hazard para pihak yang terlibat. Sementara tindak pidana korupsi yang menjadi addresat hukum (kepentingan hukum yang dilindungi) adalah keuangan negara.
BPK sebagai pihak awal yang mengingatkan kasus ini, bergerak karena pertimbangan telah ada kerugian negara. Bahkan pada tanggal 1 Juni 2006 Menurut majalah Tempo Ketua BPK Anwar Nasution dan Burhanuddin bertemu membahas pengeluaran itu (uang Yayasan LPPI 100 Milyar Rupiah), BI mengusulkan sebagai gantinya hak guna serah tanah di Kemang selama 20 tahun, namun BPK menolak.(lihat Majalah Tempo, Tanggal 24 Februari 2008 hal 123)
Hukum Acara Pidana (pasal 65 dan 66 KUHAP) kita memberikan peluang untuk melakukan dakwaan dua tindak pidana atau lebih yang dilakukan secara bersamaan oleh satu atau lebih pelaku. Hal ini dinamakan dakwaan kumulatif atas tindak pidana perbarengan yang berbentuk konkursus realis. Dengan adanya aturan ini, hukum bisa meminta pertanggungjawaban pidana pada pelaku dua tindak pidana pada waktu yang bersamaan. Dalam hal ini, perbuatan tindak pidana korupsi atas keuangan negara yang berada di Yayasan LPPI dan tindak pidana gratifikasi pada beberapa anggota DPR.
Endnote:
[1] Maqdir Ismail, Independensi, Akuntabilitas, Dan Transparansi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Ringkasan Disertasi Doktor FH UI, Jakarta, hal 164.
[2] Hukumonline, tanggal 11 Juli 2008.
[3] Bunyi Pasal 5 Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, menyatakan bahwa : kekayaan yayasan baik berupa uang atau barang maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan Undang- Undang ini dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus, pengawas, karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.
Sedangkan Pasal 70 UU No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan menyatakan : (1) Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Ismail, Independensi, Akuntabilitas, Dan Transparansi Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, Ringkasan Disertasi Doktor FH UI, Jakarta, hal 164.
http://www.legalitas.org/?q=content/uang-yayasan-bi-bukan-keuangan-negara
Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 10.02 0 komentar
Label: opini-artikel pakar hukum