Dikirim/ditulis pada 4 May 2008 oleh ERROL ARTIKEL HUKUM PIDANA Oleh: Errol Widiastama
Undang-undang Korupsi mempunyai jiwa dan semangat yang luhur, agar dapat memberantas korupsi yang sudah mewabah di Indonesia. Semangat para pembuat UU ini, tidak lebih agar Para Koruptor yang memang demikian canggih didalam melakukan aktivitas korupsi disegala bidang dapat dijerat dan dihukum, sehingga akan memberikan effek jera bagi Koruptor-2 supaya tidak berbuat lagi dan bagi yang akan berbuat akan berpikir 1.000 kali, dengan tegasnya penegakan hukum di Indonesia yang kita cintai ini .
Kata-kata awal dalam UU ini didahului “ DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA “, adalah suatu semangat spiritual agar UU ini didalam pelaksanaanya dapat memberikan rasa keadilan bagi siapa saja yang terlibat dengan undang-2 ini, baik sebagai pembuat, pelaksana, masyarakat dan terpidana. Tuhan yang kita ketahui dan sadari adalah salah satunya mempunyai sifat Maha Adil, sehingga sebagai manusia yang beradab dan beragama, maka sifat KEADILAN adalah mutlak harus kita tegakkan, sehingga Pembuat, pelaksana, masyarakat maupun terpidana tidak dapat mengklaim satu-satunya yang paling adil dan paling benar,
Nurani Keadilan
Ada unsur Nurani yang paling dalam disini, Yaitu unsur Nurani Keadilan yang Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, selain pengalaman, keilmuan dan kekuasaan yang dipunyai oleh para aparat penegak hukum untuk menentukan nasib para terpidana tindak pidana korupsi, ada unsur yang lebih penting yaitu “ NURANI KEADILAN “.Tanpa unsur Nurani ini, maka UU No.31 tahun 1999, yang sudah cukup baik ini, menjadi ajang transaksi bisnis para penegak hukum dengan para koruptor yang sebenar-benarnya koruptor, karena memang dengan diberlakukannya UU. No.31/1999 ini, banyak sekali para peghuni penjara yang koruptor tapi sebenar-benarnya bukan koruptor ( adalah bukan koruptor, tapi dia dijadikan koruptor oleh opini masyarakat yang diciptakan oleh Media dengan sumber informasi dari penegak hukum sendiri, dikarenakan koruptor ini adalah hanya kambing hitam, yang tidak dapat melakukan transaksi bisnis dengan para aparat penegak hukum, karena tidak mempunyai uang atau uang hasil pekerjaan halalnya telah habis di “ ATM “kan oleh penegak hukum yang menanganinya).
Fakta hasil dari survey MTI ( Masyarakat Tranparency Indonesia ), bahwa lembaga yang paling korup yaitu lembaga Penegak hukum itu sendiri ( Polisi, kejaksaaan & kehakiman ), tetapi disatu sisi Penegakan Hukum di Indonesia nampak adanya Grafik yang meningkat didalam pelaksanaannya, tetapi ini tak lebih adalah suatu EFORIA para penegak hukum saja secara politis, sehingga secara institusi baik polisi, jaksa dan hakim nampak cukup baik kinerjanya.
Target Pembasmian Korupsi,“TARGET“ PEMBASMIAN KORUPSI, yang dicanangkan oleh KPK dan Kejaksaan, menyebabkan para penegak hukum berlomba-lomba tanpa melibatkan nurani keadilan lagi, menangkap orang seenaknya sendiri, tanpa perlu adanya PEMBUKTIAN KERUGIAN NEGARA terlebih dahulu, maka yang penting tangkap dulu, lempar ke pengadilan, biarkan pengadilan yang membuktikan, dimana hakim-hakim saat ini lebih pandai menghukum daripada mencari keadilan, walaupun fakta-2 persidangan telah menyatakan terpidana tidak bersalah, tetap divonnis bersalah, karena kuatir menyakiti rasa keadilan masyarakat ( padahal masyarakat yang disakiti ini, adalah telah terperdaya oleh suatu informasi yang menyesatkan dan kemudian dijadikan suatu opini public yang diciptakan oleh para penegak hukum dengan melalui Media ).
Pemerasan kepada terdakwa bukanlah suatu hal yang memalukan lagi, pemerasan sudah terjadi sejak dari proses penyidikan oleh kepolisian, dakwaan oleh kejaksaan dan putusan oleh Hakim, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan hasil transaksi yang terbesar, sehingga apabila seseorang yang belum terbukti melakukan korupsi sudah harus mengeluarkan uang terlebih dahulu, dan apabila si terdakwa sampai di pengadilan sudah tidak punya uang, maka hakim akan memutus dengan berat vonnisnya, ( bahkan penulis pernah melihat seorang jaksa penuntut umum, yang menangis disidang, setelah terpidana divonnis berat oleh hakim, karena Jaksa tersebut sebenarnya tahu, bahwa terpidana bukan pelaku Korupsi, tetapi karena birokrasi RENTUT, maka dituntut berat yang akhirnya hakim juga menuntut lebih berat, karena harus bersaing demi prestise institusi ).
Sehingga TB. R. Nitibaskara secara ekstrem menyebut "HUKUM MENJADI ALAT KEJAHATAN", ini fakta yang kasat mata, dimana para penegak hukum telah benar-benar menjadikan hukum sebagai alat berbuat kejahatan, yaitu sejak 2003 s/d 2008 beberapa polisi, jaksa & hakim yang telah menjadi terpidana, bagi mereka yang telah diindikasikan pada pemberitaan di media massa tetapi belum menjadi tersangka segera membungkam media dengan memberikan imbalan, menakut-nakuti terpidana atau tanpa rasa malu memohon kepada si terpidana agar jangan membuka aib ini, karena si terpidana nanti juga akan dikenakan kasus lainnya lagi, sehingga terpidana menjadi takut melaporkan dan penegak hukum inipun berani menjanjikan akan membantu terpidana bila melakukan upaya hukum lanjutan.
Penegakkan Hukum, Prestise Intitusi
PENEGAKKAN HUKUM hanyalah menjadi simbol PRESTISE/PRESTASI KINERJA para aparat penegak hukum yang makin kaya saja, dengan meminta bagian dari hasil kerja halal para Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor, sedangkan para Koruptor yang sebenarnya Koruptor, dibiarkan lari keluar negeri dengan alasan saling lempar kesalahan pada institusi yang ada, padahal semuanya adalah hasil pengaturan para penegak hukum itu sendiri dengan para koruptor kakap yang telah juga dijarah sebagian dananya.
Kapolri, pernah mengatakan pada media massa, bahwa dia keberatan dengan penilaian MTI , bahwa institusi yang dipimpinnya adalah termasuk salah satu yang terkorup dan responden yang ikut survey telah dibentuk dulu opininya lewat media, sehingga kemudian dikatakan menjadi opini masyarakat, penulis dalam hal ini hanya ingin menyampaikan, bahwasanya inilah juga cara-cara para aparat polisi membentuk opini public/masyarakat lewat mis information yang diberikan kepada media, sehingga koruptor yang sebenarnya bukan koruptor tidak sempat membela dirinya sendiri, karena sudah dijadikan terpidana sebelum persidangan dimulai.
Bukanlah kesalahan pada UU anti Korupsi ini, tetapi para aparat hukum ini sendirilah yang memanfaatkan celah-celah hukum dengan mengatasnamakan “Pembasmian korupsi“, yang sebenarnya adalah bahwa para penegak hukum inilah yang ikut andil bagi-bagi hasil korupsi dengan para Koruptor yang sebenarnya Koruptor, celah-celah hukum sangat dikuasainya, hasil pemerasan dari terpidana tidak mungkin menggunakan kwintansi, semua hasil jarahannya tidak disimpan atas namanya sendiri, tetapi atas nama pembantunya, atas nama saudara dan orang-orang lain yang dia percaya, bagi penegak hukum yang pandai, dia tidak akan membawa mobil mewah kekantornya, tapi apabila dilihat dari kehidupan pribadinya, 3 mobil mewah dirumahnya & 1 mobil butut untuk kekantor, yang mana apabila dilihat dari standar gajinya, dia hanya golongan IV.A, dengan gaji +/- Rp. 4,5 juta, dan juga mempunyai bisnis di Luar negeri, tapi karena kepandaiannya memanfaatkan celah hukum yang ada, nampaklah dia adalah “PENDEKAR PEMBASMI KORUPSI” dimata masyarakat.
Eforia dan Pertumbuhan Ekonomi Stagnan
Karena masyarakat sudah antipati pada semua hal yang berbau korupsi, maka masyarakat menjadi senang apabila koruptor ditangkap & dihukum berat, sehingga apabila ada Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor ditangkap dan ditahan, masyarakat akan memuji hasil kerja para aparat penegak hukum dan apabila ada Koruptor yang memang tidak terbukti bersalah dan di vonnis bebas oleh pengadilan, maka masyarakat akan mengumpat, bahwa tidak profesional, menyakitkan rasa keadilan masyarakat, goblok dllsbgnya, sehingga hakim menjadi ketakutan, dan hakim yang masih punya nurani seperti ini, kemudian dipindah tugaskan kedaerah kering, demi menjaga prestise lembaga peradilan. Dan bagaikan gayung bersambut, maka polisi dan kejaksaanpun akan melemparkan kesalahan pada pihak pengadilan, supaya prestise institusi mereka tetap terjaga, semua ini dikarenakan kewenangan penegakkan hukum yang diberikan, tidak digunakan secara profesional, cenderung sewenang-wenang dan koruptif.
Kecenderungan penyalahgunaan kewenangan ini, sangat mencemaskan, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat lainnya juga, sehingga dampak kesewenang-wenangan ini sangat fatal bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia, pimpro didaerah yang dahulu adalah jabatan basah, menjadi jabatan yang mengerikan, sehingga proyek-proyek didaerah yang sebenarnya menyerap tenaga kerja cukup banyak menjadi terhenti, para pengusaha melakukan PHK karena dunia usaha terhenti, kredit dari bank sulit didapat, pihak Bank juga sangat-sangat berhati-hati untuk menyalurkan kredit, para Kepala Daerah juga lebih senang menaruh dana APBD dalam bentuk SBI, sehingga tidak ada resiko tuduhan korupsi. Semuanya ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi menjadi jalan ditempat.
Ketakutan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia saat ini menjadi terhenti, bukanlah tidak beralasan, semuanya dikarenakan UU Anti Korupsi yang merupakan komitmen pemerintah secara serius didalam Pembasmian Korupsi, tidak didukung oleh sistim dan aparatur penegak hukum, masih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik & ekonomi sesaat dan juga integritas serta kwalitas aparat penegak hukum yang buruk, belum bersih, sewenang-wenang dan tebang pilih.
Kalaupun ada suara kebenaran yang disampaikan oleh Koruptor yang sebenarnya bukan Koruptor, dianggap oleh aparat penegak hukum, sebagai suara perlawanan dari para koruptor, sehingga suara kebenaran itupun hanya terdengar lirih dan sayup-sayup bagi anggota masyarakat yang masih mempunyai hati nurani. Propanganda Pembasmian Korupsi dibesar-besarkan, hanyalah alat politis sebagian para aparat penegak hukum agar masyarakat menilai bahwa aparat tersebut adalah “ SAPU YANG BERSIH “. Benarlah peribahasa yang mengatakan “ Gajah dipelupuk mata tidak tampak, kuman diseberang lautan tampak.
RATU SUADIL, Medio Mei 2008
http://www-errol273ganteng.blogspot.com/2007/03/uukorupsi-no31-tahun-1999-dan.html
http://www.legalitas.org/?q=content/undangundang-nomor-31-tahun-1999-tentang-korupsi-dan-pelaksanaannya
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi dan Pelaksanaannya
Selasa, 22 Juli 2008Diposting oleh KORUPTOR PALSU di 09.25
Label: opini-artikel pakar hukum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar