Urgensi RUU Pengembalian Aset

Sabtu, 05 Juli 2008

Dikirim/ditulis pada 29 December 2007 oleh Romli Atmasasmita

ARTIKEL HUKUM PIDANA

[Penulis adalah Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad/Ahli UNODC Untuk UNCAC - Tulisan lain dari Penulis dapat dilihat di sini]

Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui Pemerintah dan DPR RI, Rancangan Undang-undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk salah satu prioritas program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU Pengadilan TIPIKOR; RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan “bench-mark” yang amat menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia untuk masa yang akan datang.

RUU PA merupakan ruu terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi politik dari ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah, relevankah saat ini diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset (RUU PA), dan bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya suatu pengaturan secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan ketentuan di luar KUHP atau KUHAP seperti undang-undang pemberantasan korupsi dan uu pencucian uang.

Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan korupsi terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke Negara lain, tampak bahwa ruu tsb sangat penting dan mendesak. Mengapa ?


  1. pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh) tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya, laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah, sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara sampai saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA dan BPK.
  2. Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan operasional penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan sehingga gerak langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara terbuka mungkin akan besar pasak daripada tiang.
  3. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi internasional yang dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “StAR Initiative” dengan mengacu kepada Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah pengembalian asset hasil kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya mengatasi kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak boleh diabaikan.
  4. Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian asset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya. Ketentuan perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan untuk mengatur pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan benda-benda sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana. Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang dirampas sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan keperdataan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat mengatur pengelolaan asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk kepentingan pelaksanaan operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara. Bahkan merujuk kepada KAK PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006, kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi, dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk korupsi, bersifat independent, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan di atas; apalagi kepercayaan akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan masyarakat luas.
  5. Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan pengembalian asset hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup dan objek pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja melalui tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui gugatan perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang ditempatkan di Negara lain.
  6. Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina) , Sani Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian asset tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta (Requested State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain, Negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana asetnya dituntut untuk dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan bahwa proses peradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik kembali ke Negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan2 lainnya yang dituntut oleh Negara yang Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta kekayaan mantan presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus ditempatkan di suatu “escrow account” Bank di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independent. Untuk kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa, penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-hutang luar negeri Negara ybs.

Proses pengembalian asset dengan berbagai persyaratan-persyaratan tsb di atas merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum internasional khususnya dalam pemberantasan korupsi, dan sekaligus merupakan preseden di masa yad bagi setiap Negara yang memiliki kebijakan hukum dengan tujuan pengembalian asset hasil kejahatan /korupsi; kebijakan hukum dimaksud tidak dapat kita ingkari kenyataan di mana kejahatan telah bersifat transnasional dan asset hasil kejahatan selalu saja lebih cepat berhasil ditempatkan di Negara lain jika dibandingkan dengan keberhasilan suatu Negara/aparat penegak hukum mengembalikan asset dimaksud dengan cepat dan mudah ke Negara-nya.

Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara2 tsb, dan hukum kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan menyelamatkan asset-aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.

Atas dasar pertimbangan tsb di atas maka dapat ditegaskan bahwa, pasca ratifikasi KAK PBB tersebut, justru keberadaan RUU PA (RUU Pengembalian Aset, bukan Perampasan Aset) merupakan salah satu jaminan hukum yang kuat dan dapat diterima oleh masyarakat internasional dewasa ini jika dibandingkan dengan hanya mempertahankan keberadaan ketentuan perundang-undangan yang se-adanya dan bersifat “status-quo”.

0 komentar:

Posting Komentar